SYARAT-SYARAT MERIWAYATKAN HADITS PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, makalah yang
berjudul “SYARAT – SYARAT MERIWAYATKAN HDITS PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN”
yang kami susun telah selesai, mudah – mudahan makalah ini bermanfaat bagi
kita. Ketika kita mengkaji ulumul hadits atau lebih popular dengan nama ilmu
musthalah hadits, kita akan mendapati bahwa bagian terpenting yang
menjadi objek kajian dalam disiplin ini adalah meneliti otentisitas suatu
hadits. Karenanya, dalam sudut pandang ini secara praktis ilmu hadits
sesungguhnya sudah di kenal semenjak Nabi Muhammad SAW masih hidup. Tentu saja
cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semuanya masih dapat dengan
mudah berpulang langsung kepada Nabi Muhammad SAW untuk di lakukan cek dan
riceknya.
Oleh sebab itu di dalam makalah ini
sangat penting bagi kita untuk mengetahui syarat-syarat perawi dalam
menerangkan tujuan yang kita capai bagi kita semua. Bila ada kekurangan dalam
menyusun makalah ini kami minta saran dan pendapatnya agar tercapai tujuan yang
di harapkan.
BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kurangnya pemahaman umat islam
sekarang dimana hadits diamabil, diriwayatkan, dan disusun. Serta bagaimana
syarat-syaart perawi hadits dalam meriwayatkan hadits-hadits. Untuk itu makalah
ini disusun dan menjadi pemenuhan tugas bagi kelompok kami.
B. TUJUAN PENULISAN
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai berikut :
Untuk menjadikan pendorong kelompok
kami, betapa pentingnya “STUDI HADITS” untuk kita pelajari sehingga kita dapat
menjadi berkepribadian yang baik namun bukan berarti kita harus menjadi orang yang
sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau penguasa yang
baik tentu banyak memiliki kekurangan. Melainkan yang menjadi tolak ukur disini
adalah keistimewaan yang ada melebihi kekurangannya, dan kekurangannya dapat
ditutupi oleh kelebihannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN RAWI
Menurut ilmu hadits Rawi adalah
“orang yang meriwayatkan hadits”. Salah satu cabang dari penelitian hadits
adalah penelitian terhadap rawi hadits. Baik menyangkut sisi positif maupun
sisi negetif perawi. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu Jarh dan Ta’dil. Ilmu
ini membahas tentang kondisi perawi. Apakah dapat dipercaya, handal, jujur,
adil, dan tergas atau sebaliknya.
Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal
dari ilmu rijalul hadits. Mustafa Al Saba’i memasukkan ilmu ini sebagai salah
satu ilmu yang paling berharga dalam “Ulum Al Hadits”. Melalui ilmu ini kajian
dan penelanjangan terhadap rawi hadits akan terjadi kredibilitas perawi hadits
akan terukur dengan jelas. Mengingat ilmu ini sangat penting. Siapapun yang
menggeluti hadits ia harus mempelajarinya. Karena ilmu ini menjadi penentu
hadits, apakah termasuk shohih atau tidak. Layak dijadikan sumber hukum atau
tidak.
Seorang rawi yang adil harus
memiliki karakteristik moral baik, muslim, telah baligh, berakal sehat,
terbebas dari kefasikan dan hal – hal yang menyebabkan harga dirinya jatuh dai
ia meriwayatkan hadits dalam keadaan sadar.
Karakter yang terdapat dalam diri
seorang rawi, mendorongnya agar selalu melakukan hal – hal postif atau rawi
selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
agamanya. Maka dari itu rawi di tuntut mengetahui atau menguasai isi kitabnya.
Jika meriwayatkan haditsnya dari kitab dan juga ia harus mengetahui hal – hal
yang dapat menggangu makna hadits yang diriwayatkan.
B. SYARAT – SYARAT SEORANG PERAWI
Benar – benar memiliki pengetahuan
bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu,
sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami
perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.
Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa
susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal
ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan
meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok (hukum)
yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.
Perawi harus menyertakan kalimat –
kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan
makna seperti terungkap pada kalimat – kalimat “Ad kama kola”.Menurut
periwayatan hadits dengan cara bi al makna (Makna) di perbolehkan apabila lapdz
– lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga
terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi cara ini hanya akan berlaku pada
zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku Nabi.
Kebolehan periwayatan hadits dengan
makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah
masa pembukuan (tadwin) hadits. Harus dengan lapadz. Kedudukan boleh
tidaknya meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun sudah
controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi, sebenarnya
mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak melarang secara
tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna.
C. TAHAMMUL WAL – AD DAN SHIGHAT – SHIGATNYA
Tahammul wal – ad adalah “mengambil
atau menerima“ hadits dari salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu
dan proses mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada
muridnya. Cara menerima hadits ada delapan cara :
1. Mendengar (Al
Sama’)
Yaitu mendengarkan langsung dari
guru. Sima’ mencakup imlak (pendekatan) dan tahdits (narasi atau memberi
informasi) menurut ahli hadits. Simak merupakan shigat riwayat yang paling
tinggi dan paling kuat. Sorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam
periwayatannya (seorang guru meriwayatkan hadits ini kepada kami)
2. Membaca (Al Qira’ah)
Yaitu sipembaca menyuguhkan
haditsnya kehadapan gurunya dalam periwayatannya, bisa kita sendiri yang
membacakan haditsnya pada seorang guru atau orang lain membacakan dan kita
mendengarkan dengan baik. Seorang rawi di perbolehkan untuk mengatakan dalam
periwayatannya. (aku bacakan hadits ini kepada fulan)
3. Ijazah (Al
Ijazah)
Yaitu memberikan izin dari seseorang
kepada orang lain. Pemberian izin oleh seorang guru kepada muridnya untuk
meriwayatkan sebuah hadits tanpa membaca hadits tersebut satu persatu. Ijazah
ini dapat dilakukan dengan cara lisan bisa juga dengan cara tertulis “aku
berikan ijazah (lisensi) padamu untuk meriwayatkan seluruh hadits yang terdapat
dalam kitab shahih Al Bukhari”
4. Memberi
(Munawalah)
Yaitu guru memberikan naskah asli
kepada muridnya. Munawalah terbagi dua : “pertama”, munawalah disertai dengan
ijazah, “Kedua”, munawalah yang tidak disertai ijazah. “seorang telah
memberitahukan kepadaku”.
5. Menulis (Al
Kitabah)
Yaitu guru menulis sendiri atau
menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain. Kata –
kata yang di pakai “seseorang telah bercerita kepadaku dengan surat menyurat”.
6. Pemberitahuan
(I’lam)
Yaitu seorang guru hadits menerima
hadits tersebut dari guru hadits sebelum tanpa ada perkataan atau suruhan untuk
meriwayatkan, kemudian ini ia sampaikan kepada muridnya. “seseorang telah
memberitahukan kepadaku, ujarnya telah berkata kepadaku”.
7. Wasiat (Al
Wasiyah)
Yaitu periwayat hadits mewasiatkan
kitab hadits yang diriwayatkan kepada orang lain. Waktu berlakunya di tentukan
oleh orang yang memberi wasiat. Demikian pula dengan bimbingan dan
kewenangannya. “seseorang telah berwasiat kepadaku dengan sebuah kitab yang
berkata dalam kitab itu “telah bercerita kepadamu sifulan”
8. Penentuan (Al –
Wijadah)
Yaitu memperoleh tulisan hadits
orang lain yang tidak diriwayatkan. Cara ini biasanya dilakukan murid dengan
cara seorang murid menemukan buku hadits orang lain tanpa rekomendasi perizinan
untuk meriwayatkan di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. “saya telah
membaca kitab seseorang”.
Dari delapan model dan cara
transmisi hadits yang telah dijelaskan di atas, yang dijadikan kesepakatan
sebagai model transmisi yang kuat adalah : Al-Sama, Al-Qira’ah dan Al
Mukatabah. Tiga metode ini dianggap efektif dan valid. Selebihnya di persilahkan
perbedaan dalam menanggapi model periwayatan ini terjadi lebih disebabkan
karena mereka sangat berhati – hati dalam meriwayatkan hadits.
Periwayatan hadits dengan makna
dapat ditujukan sebagai penyampaian hadits dengan menggunakan rumusan kalimat sendiri
yang dapat memelihara substansi pesan dan tujuan semula. Dapat pula dirumuskan
sebagai periwayatan hadits yang menggunakan lapadz – lapadz yang berbeda dengan
teks asli tetapi kandungan isinya tetap terjamin sesuai dengan maksud awal
hadits.
D. KEDUDUKAN BOLEH TIDAKNYA
MERIWAYATKAN HADITS DENGAN MAKNA
Sejak sahabatpun sudah
controversial. Namun pada umumnya para sahabat membolehkannya. Misalnya Ali bin
Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud (W.32 H / 652 M), Anas bin
Malik (W.98 H / 711 M), Abu Darda (W.32 H / 652M), Abu Hurairah (W. 58 H/ 678
M), dan Aisyah binti Abu Bakar (Isteri Nabi) membolehkan periwayatan hadits
dengan makna. Sedangkan yang tidak membolehkan diantaranya Umar bin Al-Khatab,
Abdullah bin Umar bin Khatab dan Zain bin Arqam. Tetapi sebenarnya mereka yang
berpegang teguh pada periwayatannya dengan lapadz tidak melarang secara tegas
sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna. Hal ini dimungkinkan
karena adanya kesulitan periwayatan tersebut, apabila seluruh sabda Nabi harus
ditiru persis.
Namun demikian generasi keenam
periwayat hadits seperti Abu Bakar bin Al-Araby (W. 573 H / 1148 M) berpendapat
bahwa periwayatan hadits dengan makna hanya di bolehkan bagi sahabat.
Menurutnya selain sahabat tidak di perkenankan untuk meriwayatkan hadits dengan
makna. Dalam pada itu, dikalangan tabi’in juga terdapat perbedaan. Sehingga
Subhi As-Shalh menjelaskan hasil pengamatan Ibnu Aun yang menunjukkan bahwa Al
Qasim bin Muhammad, Raja’ bin Habwat dan Muhammad bin Sirin mengharuskan
riwayat dengan lapadz.
BAB
III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Seorang perawi benar – benar
mengetahui / memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam dan mengerti lapadz
dan maksudnya dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat. Perawi harus
menyertakan kalimat yang menunjukan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan
periwayatan sehingga terpelihara kesalahan dari periwayatnya.
para perawi dalam kondisi lupa
susunan harpiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat di perlukan hal
ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits dengan alasan lupa
susunan harpiah dan lapadznya. Sementara nilai pokok (hukum) yang terkandung
dalam hadits tersebut sangat diperlukan umat islam.
Kebolehan periwayatan hadits dengan
makna terbatas pada masa di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa
pembukuan (tadwin) hadits, harus dengan lapadz periwayatan hadits dengan makna
terbatas. Oleh karenanya, boleh tidaknya meriwayatkan hadits dengan makna,
sejak jaman nabi pun sudah controversial. Namun pada umumnya sahabat
memperbolehkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar