Senin, 30 September 2013

Perangkap Tesis Huntington

Islamophobia Oleh : Admin 14 Apr 2003 - 9:12 pm

Istilah 'perang peradaban' diperkenalkan Samuel Huntington dalam bukunya yang berpengaruh The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996). Perang Teluk II saat ini menjadi obyek menarik untuk melihat sekali lagi tesis Huntington tentang perbenturan antarperadaban

apakah tesis itu semakin menjadi kenyataan atau justru menjauh dari realitas. Saya yakin dalam tulisannya mendatang, Huntington akan menegaskan lagi bahwa Perang Teluk II sebagaimana Peristiwa 11 September merupakan 'perang peradaban'. Ia mungkin akan mengatakan, "I told you so."

Huntington melihat bahwa sumber utama konflik dalam dunia baru bukanlah ideologi, politik atau ekonomi, tetapi budaya. Budaya dalam manifestasi yang lebih luas adalah peradaban, suatu unsur yang membentuk pola kohesi, disintegrasi dan konflik.

Ia menilai bahwa perang antarklan, antarsuku, antaretnik, antaragama dan antarbangsa merupakan suatu fenomena umum. Perang Dingin adalah penyimpangan sejarah dan tidak substansial serta tak membahayakan. Perang Teluk I, menurut Huntington, adalah perang peradaban pertama pasca Perang Dingin.

Meskipun ia mengidentifikasi sembilan peradaban kontemporer, namun hanya dua peradaban yang menjadi favorit pembahasannya yakni Barat dan Islam. Tujuh peradaban dunia lain adalah peradaban Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, dan Kristen Ortodoks. Huntington bahkan tidak memasukkan Yahudi sebagai peradaban.

Bagi Huntington, Islam sejak awal merupakan agama pedang dan mengagungkan kejayaan militer. Islam berasal dari kalangan suku nomaden Badui Arab yang suka perang dan kekerasan menjadi simbol fondasi Islam. Lebih jauh Huntington menganalisis bahwa Alquran dan ajaran Islam lain hanya mengandung sedikit larangan tentang penggunaan kekerasan, bahkan konsep antikekerasan tidak ada dalam doktrin dan praktek seorang muslim.

Pandangan kontroversial Huntington ini sudah banyak menjadi bahan perdebatan. Namun yang menarik sejauh manakah pandangan Huntington ini mewakili Barat atau para pengambil keputusan di negara-negara Barat khususnya Washington. Demikian pula sejauh mana kelompok Islam menangkap ide besar ini untuk mewujudkan kondisi 'perang antarperadaban'.

Kegagalan Huntington
Secara akademis, Huntington sebenarnya gagal mengidentifikasi nilai-nilai, institusi dan pola pikir sembilan peradaban yang ia klasifikasi. Pembagiannya juga tumpang tindih antara agama dan teritorial. Pemetaan yang ia lakukan merupakan wujud simplifikasi yang tidak berdasar.

Kritik paling tajam datang dari Edward Said (2001). Ia menilai Huntington tidak mengerti dinamika internal dan pluralitas setiap peradaban. Bagi Huntington, tantangan para pengambil keputusan di Barat adalah bagaimana membuat Barat semakin kuat dan menjaga peradaban lain agar tetap terkontrol terutama Islam.

Bagi Said, Huntington adalah seorang ideolog yang sengaja membentuk 'peradaban' sebagai entitas yang terbungkus dan tak terpengaruh perubahan-perubahan interaksi sejarah manusia. Huntington tidak melihat bahwa peradaban itu mampu melakukan pertukaran budaya, bahkan bersama-sama membendung perang agama maupun imperialisme.

Pada tataran praktis, tesis Huntington ternyata yang paling mudah dicerna oleh pengambil kebijakan politik luar negeri Amerika yang kini dikuasai kalangan neokonservatif. Fase baru pertarungan Barat melawan Islam menemukan momentumnya pada Peristiwa 11 September 2001.

Jaringan Al Qaeda menjadi musuh utama dan landasan dalam perang melawan Taliban di Afghanistan. Tentu saja dengan kemampuan militer dan teknologi yang super canggih, Amerika dengan mudah menaklukkan rezim Taliban dan menggantinya dengan rezim yang kooperatif dan akomodatif terhadap kepentingan Barat.

Perang Teluk II terhadap Irak mungkin tidak semulus pergantian rezim di Afghanistan. Meskipun pertarungan dapat dimenangkan dengan mudah namun Amerika gagal merangkul sekutu-sekutu pentingnya di Eropa dalam suatu koalisi, aturan main internasional di bawah PBB juga terkoyak-koyak, mengakibatkan kepercayaan internasional terhadap Amerika semakin menurun.

Amerika tidak dapat membuktikan hubungan Irak dan Al Qaeda. Amerika gagal meyakinkan dunia internasional tentang bahaya senjata pemusnah massal Irak, yang dibeli Irak dari perusahaan Amerika. Senjata pemusnah massal ini menjadi alasan utama dari doktrin preemptive action, dan ironisnya hingga kini masih menjadi tanda tanya: dimanakah mereka?

Kebrutalan Israel
Sejalan dengan itu, kebrutalan Israel di Palestina semakin menjadi bagian berita sehari-hari. Dunia Arab mempertanyakan konsistensi kebijakan Barat terhadap senjata nuklir yang dimiliki Israel, dan pendudukan-pendudukan Israel di tanah Palestina yang merupakan pelanggaran Resolusi PBB. Bahkan Israel adalah negara yang paling banyak melanggar resolusi PBB.

Kenyataan ironis di Timur Tengah itu memberi kesan bahwa tesis Huntington memang diadopsi oleh Washington. Sebagian besar muslim di Timur Tengah melihat bahwa perang ini jelas merupakan invasi dan bukan pembebasan. Pembebasan yang mereka tunggu-tunggu adalah Palestina.

Ketidaksukaan sebagian mereka terhadap Saddam Hussein tidak lebih penting ketimbang keganasan dan pendudukan Israel terhadap warga Palestina. Kapankah mereka dapat melihat Hans Blix dan kawan-kawan berada di Israel untuk memeriksa senjata pemusnah massal terbesar di Timur Tengah?

Road map Palestina tampaknya sulit menjadi kenyataan. Israel secara terang-terangan menolak rencana ini. Pesimisme semakin bertambah jika melihat pernyataan-pernyataan Washington yang lebih mengancam Suriah dan Iran.

Di samping itu, sejak awal Perang Teluk II kita mendengar artikulasi politik dan idiom pemerintahan George W Bush yang terkesan relijius dan fundamentalis. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kebijakan luar negeri W Bush dikuasai klik intelektual neokonservatif.

Michael Lind dalam tulisan utama majalah Newstatesman (April 2003) memetakan bagaimana kelompok neokonservatif ini memainkan kendali Perang Teluk II. Salah satu mastermind-nya adalah Paul Wolfowitz, mantan Dubes AS untuk Indonesia.

Jaringan inti pengambil keputusan di sekitar W. Bush adalah Wolfowitz (Deputi Menhan), Douglas Feith (orang ketiga di Pentagon), Lewis Libby (kader Wolfowitz), John Bolton (orang yang didudukkan untuk menjaga Collin Powell), Elliott Abrams (kepala National Security Council urusan Timur Tengah), James Woosley (mantan direktur CIA) dan Richard Perle (penasehat Dephan yang baru mengundurkan diri karena skandal lobi).

Mereka mengambil keuntungan dari keluguan dan kurangnya pengalaman Bush. Berbeda dengan ayahnya yang pernah menjadi duta besar di Cina, direktur CIA dan wakil presiden, Bush dikenal awalnya sebagai play boy yang kurang terdidik, gagal dalam bisnis sebelum menjadi gubernur Texas, antiintelektual hingga akhirnya menjadi seorang fundamentalis Kristen yang pro-Zionisme. Menurut Lind, W Bush sangat mengagumi sikap macho tentara Israel dan menentang kelompok intelektual Yahudi liberal Amerika.

Prioritas kebijakan luar negeri dan pertahanan Amerika tampaknya juga tak beralih dari negara-negara Islam di Timur Tengah. Suriah dan Iran menjadi negara-negara yang diamati bahkan diancam untuk tidak melakukan perlawanan. Sebagian besar negara-negara yang dikategorikan 'poros setan' (axis of evil) dan negara-negara jahat (rogue states) adalah negara-negara Islam kecuali Korea Utara.

Reaksi dari negara-negara yang tertuduh dan kelompok Islam yang tersudutkan justru akhirnya semakin menangkap ide besar Huntington bahwa apa yang dilakukan Amerika adalah bagian dari 'perang peradaban'. Amerika dianggap sedang melumpuhkan peradaban Islam dan menancapkan dominasinya di jantung Timur Tengah sambil memperkuat posisi dan pengaruh Israel.

Kelompok-kelompok fundamentalis Islam akan semakin yakin bahwa tugas mereka adalah memerangi Barat (Amerika) dengan segala cara termasuk melakukan terorisme masal. Siklus ini akan menjadi lingkaran setan (vicious circle), terperangkap dalam tesis Huntington, sehingga dunia menjadi semakin berbahaya.

Skenario ini dapat dielakkan jika epilog Perang Teluk II benar-benar memberikan kabar gembira bagi rakyat Irak dan dunia Arab umumnya yakni pemerintahan transisi secepatnya oleh rakyat Irak, rekonstruksi yang dipimpin PBB dan terbukanya jalan bagi terbentuknya negara Palestina.

Sebaliknya, jika Amerika bersikukuh untuk menduduki dan memerintah Irak, menguasai ladang-ladang minyak dan sumber daya alam lain, menunjuk perusahaan swasta Amerika untuk rekonstruksi Irak serta mengingkari sekali lagi janji tentang road map Palestina, besar kemungkinan akan terjadi resistensi dari kalangan Irak sendiri dan dunia Arab serta dunia Islam pada umumnya.

Dalam kondisi terakhir itu, nasionalisme Arab dapat menemukan momentumnya seiring meningkatnya fundamentalisme Islam di kawasan Timur Tengah untuk waktu yang lama.

Mahasiswa MSc Development Studies The London School of Economics and Political Science


Kumpulan Berita Islamphobia Swaramuslim.net 2001 - mar 2006


Tidak ada komentar:

Posting Komentar