oleh: Abu Salma Al-Atsari
:: Mengapa Bicara
Poligami::
Poligami merupakan
nizham (peraturan/syariat) di dalam Islam yang semenjak dahulu dijadikan
sasaran bulan-bulanan oleh kaum orientalis dan kuffar untuk menghantam dan
mencela agama Islam dan Rasulullah Shallalallahu ’alaihi wa
Salam.
Bahkan semenjak zaman Rasulullah
Shallallahu ’alaihi wa Salam, kaum kafir Yahudi sudah mulai menghembuskan
celaan-celaan dan hujatan-hujatan kepada Nabi dan syariat Poligami ini.
Diriwayatkan oleh ’Umar Maula (mantan budak) Ghufroh [dia berkata]
:
قالت
اليهود لما رأت الرسول يتزوج
النساء: أنظروا إلى هذا الذي لا يشبع من الطعام، ولا والله ماله همة إلا
النساء
”Orang Yahudi berkata ketika melihat Rasulullah menikahi wanita : Lihatlah orang yang tidak pernah kenyang dari makan ini, dan demi Alloh, ia tidaklah punya hasrat melainkan kepada para wanita.” [Thobaqot al-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz VIII hal. 233, melalui perantaraan Hamdi Syafiq, Zaujaat Laa Asyiiqoot at-Ta’addudi asy-Syar’i Dhorurotul Ashri].
Mereka -kaum Yahudi- mendengki kepada
Rasulullah dan ketika mereka melihat Rasulullah berpoligami maka mereka jadikan
hal ini sebagai sarana untuk menjatuhkan dan merendahkan beliau ’alaihi
Sholatu wa Salam. Mereka menyebarkan kedustaan dengan berkata : ”Kalau
seandainya Muhammad itu benar-benar seorang Nabi, niscaya ia tidak akan begitu
berhasrat kepada wanita.” [ibid].
Diantara para pencela tersebut
adalah seorang orientalis klasik yang bernama Ricoldo De Monte Croce (w. 1320 M)
yang menulis buku “Contra Sectam Mahumeticam Libellius” (Menentang Gaya Hidup
Sekte Muhammadanism), ia menyebut agama Islam sebagai Muhammadisme yaitu agama
yang diciptakan oleh Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, selain itu
dengan keji orang laknat ini menyebut Rasulullah sebagai setan antikristus yang
amoral dan gila seks. Dia menuduh Rasulullah dengan tuduhan-tuduhan keji –semoga
Alloh mengutuknya-. [Harmutz Bobzin,
A Treasury of Heresies hal. 16]
Apa yang dipaparkan oleh De
Monte Croce ini, diikuti oleh seorang reformis agama kristiani, pencipta aliran
Protestanisme, Martin Luther yang menterjemah karya Ricoldo ke dalam bahasa
Jerman. Ia memiliki pandangan yang sama dengan Ricoldo, menghina Islam dan
Rasulullah dan menuduh beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan tuduhan
keji dan dusta. [ibid]
Mereka –semoga Alloh melaknatnya dan
membinasakan mereka-, mencela Nabi yang mulia ’alaihi Sholatu wa Salam
dengan celaan yang keji. Seakan-akan Rasulullah adalah manusia yang ’gila dengan
wanita’ –wal’iyadzubillah-, dan tuduhan-tuduhan keji ini terus berlangsung
secara estafet, hingga kepada para orientalis kuffar, yang akhirnya turut
merasuk dan mengkontaminasi pemikiran sebagian kaum muslimin yang terpukau
dengan hadharah (peradaban) barat yang buruk, mengungkit-ungkit syariat
–bahkan menghujatnya- dan menganggap bahwa syariat Islam itu barbar dan tidak
manusiawi (merendahkan kaum wanita). Allohul Musta’an.
Pemahaman ini pun dibawa dan
dikumandangkan oleh para cendekiawan (baca : cendawan) muslim(?) yang
menggembargemborkan madzhab bid’ah liberalisme, sosialisme islam, feminisme, dan
isme isme lainnya yang merupakan produk impor dari sampah pemikiran
(afkar/thought) dan peradaban (hadharah/civilitation) kaum
herecies (kuffar), semisal Hasan Hanafi, Syed Hossen Nasr, Nasr Abou
Zaed, Khaled Abou Fadl, Mohamed Arkoun, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan selain
mereka dari kaum zanadiqoh, para pengagum kesesatan dan
bid’ah.
Penulis katakan, apabila ada orang yang mencela poligami, maka pada
hakikatnya ia mencela syariat Islam itu sendiri, bahkan ia mencela sang Pembuat
Syariat, Alloh Azza wa Jalla Sang Pencipta : yang menciptakan alam
semesta dan makhluk-Nya secara berpasang-pasangan, yang menurunkan syariat
poligami (poligini) bagi hamba-hamba-Nya dan Dia Maha Mengetahui atas kebaikan
bagi makhluk-makhluk-Nya, sedangkan makhluk-Nya tidak memiliki pengetahuan
melainkan hanya sedikit saja yang tidak lebih dari setetes air di samudera. Akan
tetapi kebanyakan manusia itu sombong dan membangkang, mereka lebih mengagungkan
akalnya ketimbang mengagungkan Alloh dan syariat-Nya, apa yang menurut mereka
buruk maka mereka anggap buruk, padahal betapa sering terjadi apa yang mereka
anggap buruk ternyata baik di sisi Alloh, dan apa yang mereka anggap baik
ternyata buruk di sisi Alloh, dan Alloh adalah lebih mengetahui daripada
mereka...
Orang yang mengatakan bahwa
poligami itu sama dengan selingkuh, maka secara tidak langsung ia menuduh bahwa
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam itu juga selingkuh, bahkan para
nabi dan rasul juga selingkuh. Nabi-nabi yang diakui oleh umat Yahudi dan
Kristiani, dan termaktub di dalam kitab suci mereka –walau telah ditahrif
/ diubah-ubah- juga melakukan poligami. Nabi Ibrahim (Abraham) ’alaihi
Salam, memiliki beberapa orang isteri, diantaranya adalah : Sarah (Sara)
yang melahirkan Ishaq (Isaac) –kakek buyut bangsa Israil- dan Hajar (Hagar) yang
melahirkan Ismail (Ishmael) –kakek buyut bangsa Arab- ’alaihimus Salam.
Nabi Ya’qub (Jacob) ’alaihi
Salam dikisahkan juga memiliki dua orang isteri kakak adik puteri dari
saudara ibunya, yang bernama Lia (Liya) dan Rahil (Rachel) [catatan : mengumpulkan
dua orang saudara (adik kakak) dalam satu pernikahan dahulu diperbolehkan lalu
dilarang pada zaman Rasulullah oleh al-Qur’an]. Demikian pula dengan Nabi Dawud
(David) dan puteranya Nabi Sulaiman (Solomon) ’alaihima Salam yang
memiliki banyak isteri dan budak wanita.
Lantas, apakah mereka semua ini
dikatakan telah melakukan selingkuh, manusia yang ’gila wanita’, hipersex, atau
tuduhan-tuduhan keji lainnya? Na’udzu billahi min dzaalik. Semua umat
beragama pasti faham dan yakin, bahwa para Nabi itu ma’shum
(infallible/terjaga dari dosa) dan menuduh keburukan pada salah satu Nabi
berimplikasi pada kekafiran... Tidakkah mereka juga mengetahui bahwa Nabi Dawud
itu adalah seorang Nabi yang paling banyak beribadah kepada Alloh, bahkan beliau
adalah orang yang paling sering melaksanakan puasa. Beliau berpuasa sehari dan
berbuka sehari dan sunnah ini pun akhirnya dikenal di dalam Islam dengan mana
Puasa Dawud. Apakah mungkin orang yang sibuk dengan ibadah dan banyak puasanya
dikatakan sebagai manusia ’haus seks’ –wal’iyadzubillah-? Bahkan bisa
jadi orang-orang yang menghujat itulah yang sebenarnya haus seks sehingga ia
menuduh untuk menyembunyikan sifat buruknya ini.
Poligami bukan merupakan praktek yang
dikenalkan oleh Islam pertama kali. Namun poligami merupakan praktek yang telah
berlangsung semenjak zaman dahulu, setua dengan tuanya usia peradaban manusia.
Hamdi Syafiq mengatakan
:
It is not Islam that has ushered in
polygamy. As historically confirmed, polygamy has been known since ancient times
‑ a phenomenon as old as mankind itself With polygamy having been a commonplace
practice since Paranoiac times
”Islam bukanlah yang pertama kali
memperkenalkan poligami. Secara historis ditetapkan bahwa poligami telah
dikenal semenjak masa lalu, sebuah fenomena yang usianya setua manusia itu
sendiri dimana poligami telah menjadi sebuah praktek yang lazim semenjak masa
Paranoiak” [Hamdi Syafiq,
Wives Rather Than Mistress].
Hamdi Syafiq melaporkan bahwa, Ramses II, Raja Fir’aun yang terkenal
(berkuasa 1292-1225 SM) memiliki 8 orang isteri dan memiliki banyak selir dan
budak wanita yang memberikannya 150 putra dan putri. Dinding biara pemujaan
merupakan bukti sejarah terkuat, dimana tercantum nama-nama isteri, selir dan
anak-anak dari tiap wanita tersebut. Ratu cantik Neferteri merupakan isteri
termasyhur Ramses II, yang terkenal berikutnya adalah Ratu Asiyanefer atau
Isisnefer yang melahirkan puteranya, Raja Merenbatah, yang naik tahta setelah
ayah dan kakaknya mangkat.
Poligami juga sudah lazim dilakukan
oleh masyarakat negeri Slavia yang sekarang menjadi Rusia, Serbia, Cechnia dan
Slovakia, juga lazim dilakukan oleh penduduk negeri Lituania, Estonia,
Macedonia, Rumania dan Bulgaria. Jerman dan Sakson, yang merupakan dua ras utama
mayoritas populasi di Jerman, Austria, Switzerland, Belgia, Belanda, Denmar,
Swedia, Nirwagia dan Inggris, juga merupakan negeri yang melakukan praktek
poligami secara meluas. Masyarakat paganis (watsaniy) di Afrika, India,
Cina, Jepang dan asia tenggara juga banyak melakukan poligami. [ibid]
DR. Muhammad Fu’ad al-Hasyimi, mantan
pemeluk kristiani yang akhirnya masuk Islam, di dalam bukunya ”Religions on
The Scales” (hal. 109) berkata:
the Church as having recognized
polygamy up to the 17th century. None of the four gospels is known to
have explicitly barred polygamy. It so happened that some European peoples,
dictated only by non‑polygamy pagan traditions, barred the practice of keeping
more than one wife. When that anti‑polygamy minority converted to Christianity,
it clamped the traditional polygamy ban down on the rest of Christians. As time
passed by, Christianity was increasingly, falsely though, believed to have
essentially barred polygamy. It is only an old tradition clamped by some down on
the others throughout ages.
“Gereja telah mengenal praktek poligami sampai abad ke-17. Tidak ada
satupun dari injil yang empat diketahui adanya larangan yang secara jelas
melarang poligami. Perubahan terjadi ketika orang-orang Eropa yang bertaklid
kepada tradisi non poligami kaum paganis (hanya beberapa kalangan saja yang
diketahui melarang poligami, karena mayoritas masyarakat Eropa –sebagaimana
disebutkan sebelumnya- mempraktekan poligami secara luas, pen).
Ketika kaum minoritas anti poligami itu masuk agama kristen, tradisi mereka
menggeser tradisi poligami dan mereka memaksakan (tradisi ini) bagi penganut
kristen lainnya. Seiring berlalunya waktu, kaum kristiani mengira bahwa larangan
poligami itu merupakan esensi ajaran kristen, padahal hal ini berangkat dari
sikap taklid kepada para pendahulu mereka, yang sebagian orang (non poligamis)
memaksakannya kepada lainnya (tradisinya) dan akhirnya terus berlangsung selama
bertahun-tahun...” [M.F. Al-Hasyimi,
Religions on The Scales hal. 109]
Bahkan, kami bernani menantang kaum
Kristiani untuk menunjukkan satu buah ayat saja dari “Kitab Suci” (?!) mereka
yang menunjukkan bahwa poligami itu terlarang. Jika mereka mau bersikap
obyektif, bukankah kitab “Perjanjian Lama” yang diklaim sebagai Taurat (Torah),
membatalkan klaim mereka yang menolak poligami?! Karena kitab “Perjanjian Lama”
ini secara eksplisit menunjukkan akan adanya praktek poligami di kalangan para
Nabi dan Rasul, mulai dari Prophet Abraham “the Friend of Allah” (Nabi Ibrahim
Khalilullah), Isaac (Ishaq), Jacob (Ya’qub), David (Dawud) dan Solomon
(Sulaiman) ‘alaihimus Salam yang kesemuanya diklaim sebagai Rasul bagi
kalangan Bani Israil. [ibid, dengan sedikit perubahan
redaksi]
:: Islam Datang Membatasi
Praktek Poligami Hanya Empat Isteri
::
Ketika Islam datang dibawa
oleh Rasulullah al-Amin, untuk menyampaikan Rahmat bagi alam semesta, maka Islam
tidak melarang poligami dengan begitu saja dan tidak pula membiarkan poligami
secara bebas. Islam datang dan membatasi poligami maksimal hanya 4 isteri saja.
Zaman pra Islam telah mengenal poligami, bahkan poligami bukanlah suatu hal yang
asing dimana ada seorang lelaki beristiri puluhan bahkan ratusan
wanita.
Datangnya Islam, membawa
Rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil ’Alamin). Selain membatasi
poligami, Islam juga menjelaskan persyaratan-persyaratan dan kriteria
dianjurkannya berpoligami yang sebelumnya tidak ada. Masalah ini akan
dibicarakan setelahnya –insya Alloh-.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari
rahimahullahu dengan sanadnya bahwa Ghaylan ats-Tsaqofi masuk Islam
sedangkan dirinya memiliki 10 orang isteri. Maka Nabi Shallallahu ’alaihi wa
Salam bersabda kepada beliau :
(( أختر منهن أربعا
))
”Pilihlah empat orang saja
dari isteri-isterimu.”
Diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud rahimahullahu degan sanadnya bahwasanya ’Umairoh al-Asadi berkata
:
أسلمت وعندي ثماني نسوة ،
فذكرت ذلك للنبي فقال : (( أختر منهن أربعا
))
”Aku masuk Islam dan aku
memiliki 8 orang isteri, lalu aku sampaikan hal ini kepada Nabi dan beliau pun
bersabda : ”pilihlah empat diantara mereka”.”
Demikianlah, mereka
melakukannya sebagai pengejawantahan Firman Alloh Azza wa Jalla
:
”Apabila kamu takut tidak
dapat berbuat adil terhadap anak yatim (yang hendak kamu nikahi), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS an-Nisaa` : 3)
Ayat 3 Surat an-Nisaa` di atas
merupakan dalil yang terang dan tegas akan batasan jumlah isteri. Demikian pula
dengan beberapa riwayat hadits di atas, dimana Rasulullah memerintahkan para
sahabatnya yang baru masuk Islam sedangkan mereka memiliki isteri lebih dari
empat supaya menceraikan selebihnya.
Adapun 9 isteri yang dimiliki oleh
Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, maka ini adalah kekhususan yang
dimiliki oleh beliau dan tidak dimiliki oleh selain beliau, sedangkan beliau
berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah orang yang ma’shum
dan terpelihara dari kesalahan. Kekhususan beliau ini banyak, diantaranya adalah
beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam dan keluarga beliau tidak boleh
menerima zakat...
Adapun yang diklaim oleh Syiah
Rafidhah dan aliran sekte sesat lainnya yang menyatakan bahwa, penafsiran ayat
di atas (QS 4:3) adalah : nikahilah dua atau
tiga atau empat maksudnya dua + tiga + empat = sembilan, maka ini adalah
penafsiran yang menyimpang dan menyeleweng dari Islam. Islam membatasi hanya 4
isteri dan ini adalah kesepakatan ulama Islam semenjak dahulu maupun
sekarang.
Alloh Ta’ala berfirman
:
”Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS an-Nisaa’ : 3)
Dari Surat an-Nisaa` di atas,
Al-Qur’an memerintahkan untuk berbuat adil dan apabila tidak mampu berbuat adil
(dalam hal nafkah, baik nafkah lahiriyah dan batiniyah), maka Alloh
memerintahkan untuk menikahi seorang wanita saja, agar tidak terjatuh kepada
perbuatan aniaya dan kezhaliman. Syariat yang mulia ini menunjukkan bahwa
poligami bukanlah syariat yang merupakan kewajiban yang harus dilakukan begitu
saja. Namun poligami memiliki syarat-syarat dan kriteria yang harus dipenuhi
–yang akan disebutkan pada risalah berikutnya insya Alloh-.
Berbeda dengan syariat kaum terdahulu,
mereka dapat melakukan poligami bebas berapa saja mereka mau. Mereka pun dapat
menikahi wanita-wanita walaupun mereka tidak bisa bersikap adil baik di dalam
nafkah maupun lainnya. Mereka menganggap bahwa kaum wanita bagaikan hewan yang
rendah, yang status mereka di bawah kaum lelaki dan dianggap sebagai makhluk
inferior.
Menyebut selingkuh itu sama dengan
poligami, maka ini artinya sama dengan menyatakan bahwa Alloh sebagai pencipta
alam semesta memperbolehkan perselingkuhan, karena Alloh memperbolehkan
poligami. Jelas ini adalah suatu kebodohan kalau tidak mau dikatakan kedustaan
terhadap Alloh Azza wa Jalla.
Di buku ”Poligami itu Selingkuh”,
penulis buku ini yang sekaligus seorang psikolog menyatakan secara tegas bahwa
”poligami itu semuanya selingkuh, karena poligami tidak akan terwujud jika tidak
diawali dengan perselingkuhan. Dengan demikian, poligami itu selingkuh”, begitu
menurutnya. Ini jelas suatu konklusi prematur yang sangat tidak ilmiah dan tidak
didukung oleh suatu research yang mendalam dan memadai, atau bisa
dikatakan ini merupakan metode generalisir yang berangkat dari pendeknya
pemahaman dan ’cetek’nya pengetahuan. Karena, tidak semua poligami itu berangkat
dari yang namanya perselingkuhan.
Apabila penulis buku itu
mendapatkan suatu fenomena atau meneliti sebagian fenomena yang terjadi pada
suatu masyarakat tertentu yang melakukan poligami, lalu ia mendapatkan informasi
bahwa poligami yang mereka lakukan adalah bermula dari perselingkuhan, maka ini
bisa dipandang dari dua sisi :
Pertama, fenomena yang terjadi
pada suatu masyarakat tertentu tidak bisa digeneralisir kepada masyarakat
lainnya yang melakukan poligami. Karena seringkali, seorang suami didorong oleh
isterinya untuk memperisteri wanita lain atau menikahi seorang janda yang memang
sangat perlu untuk dibantu, bukan karena faktor kecantikan, harta atau
sebagainya, dan fenomena ini adalah suatu yang eksis tidak boleh dinafikan,
sehingga klaim penggeneralisiran yang dilakukan oleh penulis buku tersebut tidak
tepat.
Kedua, fenomena poligami yang didapatkan oleh penulis buku
tersebut, bukanlah suatu mutlak keburukan, bahkan bisa menjadi suatu kebaikan.
Karena awal perselingkuhan yang terjadi dapat berakhir kepada suatu ’sarana’
yang halal dan tidak terus menerus di dalam penyelewengan, yaitu perselingkuhan.
Selingkuh itu haram dan dosa namun poligami itu halal dan bisa jadi berpahala.
Suatu yang diawali dengan keburukan, lalu beranjak meninggalkan keburukan itu
bisa jadi menuju dan menjadi kebaikan, oleh karena itu tidak dapat dikatakan hal
ini semuanya buruk, sehingga implikasinya turut menyatakan bahwa poligami itu
buruk. Bahkan sebenarnya poligami itu merupakan salah satu way out dari
perselingkuhan. Namun, perlu dicatat, hal ini tidak semuanya demikian dan tidak
mutlak harus demikian.
Kaum kuffar dan orang Islam yang
terpengaruh dengan pemahaman mereka, ketika membicarakan masalah poligami,
mereka menganggap seakan-akan Islam mewajibkan bagi muslim pria untuk
mempoligami wanita (baca : poligini), dan mereka menjadikan hal ini sebagai
citra buruk bagi Islam. Padahal apabila mereka mau mengkaji dengan kaca mata
obyektif dan mempergunakan akal sehatnya, niscaya mereka akan mendapatkan bahwa
Islam adalah agama yang Rahmatan lil ’Alamien.
Menurut sebagian fuqoha’ (ahli
fikih), Hukum poligami itu sama dengan hukum pernikahan, yang kembalinya kepada
5 kategori hukum :
-
Fardh/Wajib, apabila poligami tidak dilaksanakan, suami akan jatuh kepada keharaman, seperti perbuatan zina, selingkuh dan perbuatan asusila lainnya.
-
Mustahab/sunnah, apabila suami mampu dan memiliki harta yang cukup untuk melakukan poligami, dan dia melihat ada beberapa wanita muslimah (janda misalnya) yang sangat perlu dinikahi untuk diberikan pertolongan padanya.
-
Mubah/boleh, apabila suami berkeinginan untuk melakukan poligami dan ia cukup mampu untuk melakukannya.
-
Makruh, apabila suami berkeinginan untuk melakukan poligami sedangkan ia belum memiliki kemampuan yang cukup sehingga akan kesulitan di dalam berlaku adil.
-
Haram, apabila poligami dilakukan atas dasar niat yang buruk, seperti untuk menyakiti isteri pertama dan tidak menafkahinya, atau ingin mengambil harta wanita yang akan dipoligaminya, atau tujuan-tujuan buruk lainnya.
Dari 5 kategori ini, poligami dapat
jatuh kepada 5 hal di atas. Ia dapat menjadi wajib, mustahab (dianjurkan), mubah
(boleh-boleh saja), makruh ataupun haram.
Oleh karena itu, menggeneralisir bahwa
poligami itu wajib adalah suatu pendapat yang tidak benar. Demikian pula dengan
menuduh bahwa poligami selalu diawali dengan perselingkuhan adalah pendapat yang
bodoh, yang berangkat dari ketidakfahaman akan syariat Islam yang mulia ini.
Padahal, seringkali poligami itu menjadi solusi dan benteng dari terjadinya
perzinaan, perselingkuhan ataupun keburukan lainnya; dan bisa jadi poligami itu
menjadi penolong bagi para wanita dan janda-janda yang memerlukan pelindung
atasnya dan anak-anaknya.
Islam adalah agama yang
komperehensif yang memberikan segala solusi permasalahan hidup bagi manusia,
yang mengatur kehidupan manusia di dunia dan mengarahkannya kepada kebaikan di
akhirat. Islam menganjurkan ummatnya untuk menikah dan tidak hidup melajang
sebagaimana bid’ah (innovation) yang dilakukan oleh para rahib-rahib dan
pendeta katolik, yang mengharamkan atas mereka menikah. Padahal menikah dan
membagi kasih sayang adalah fitrah dan tabiat dasar manusia, yang mana telah
Alloh gariskan bagi makhluk-Nya.
Perzinaan (Adultery)
adalah suatu keharaman, bukan hanya menurut Islam, namun juga menurut
agama-agama lain dan akal budi yang sehat. Melajang tidak menikah, pun juga
suatu hal yang haram, karena menyelisihi dan mengingkari fithrah serta tabiatnya
sebagai manusia. Homoseksual baik itu gay (antar lelaki) atau lesbi
(antar wanita) yang sekarang sedang diisukan oleh kaum liberalis humanis
dengan atas nama HAM (Human Rights) adalah suatu perilaku yang
jelas-jelas menyimpang, menjijikkan dan menafikan akal sehat.
Anehnya, kaum liberalis feminis,
mereka membela kejahatan-kejahatan yang menjijikkan ini namun menolak syariat
mulia poligami. Mereka mencerca bahwa poligami itu merendahkan wanita dan
menjadikan wanita sebagai makhluk inferior, padahal mereka sendiri lebih
merendahkan wanita, dengan mengajak kaum wanita untuk menafikan akal sehatnya,
menolak fithrah dan tabiatnya, melepaskan keimanannya dan menarik mereka masuk
ke dalam lubang kehinaan.
Mereka lebih senang mengeksploitasi
kaum wanita sebagai perhiasan umum dan properti publik, yang dapat dikonsumsi
bebas oleh massa. Lihatlah iklan-iklan di televisi, bagaimana wanita
dieksploitasi besar-besaran hanya untuk menarik market dan meraih profit
besar-besaran suatu produk, tampak wanita bagaikan barang dagangan. Ironinya,
wanita-wanita itu tidak malu, mereka lebih senang menjadi properti umum daripada
dipoligami oleh seorang pria.
Ada lagi yang senang menjadi wanita
simpanan alias gundik atau mistress. Mereka tidak mau dinikahi sehingga
mereka telah memangkas hak-hak mereka sebagai wanita dan isteri, sehingga ketika
sang lelaki idaman meninggal, ia tidak akan mendapatkan hak warisan dan
perlindungan secara legal dari pengadilan. Di lain pihak, ada sebagian isteri
yang lebih tidak ridha memiliki suami yang berpoligami, namun menganggap bahwa
selingkuh lebih baik daripada harus berpoligami. Mereka lebih senang apabila
para suami itu jatuh kepada perzinaan, dosa dan keharaman daripada harus berbagi
suami dengan wanita lain.
Alloh, sang pencipta alam semesta,
adalah yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi makluk-Nya. Sehingga syariat
dan hukum yang Ia buat dan tetapkan, pasti adalah yang terbaik bagi
hamba-hamba-Nya. Alloh mensyariatkan dan memperbolehkan poligami, maka tentu
saja banyak hikmah dan kebaikan yang terkandung di dalamnya, walaupun manusia
tidak mengetahuinya atau bahkan menentangnya.
Kita ambil sebuah permisalan, misalnya
kita membeli satu set televisi lengkap dengan panduan
troubleshooting-nya, kemudian setelah beberapa waktu televisi tersebut
tidak dapat menyala. Kita hendak memeriksa kerusakan televisi tersebut sebelum
dibawa kepada reparasinya. Apakah kita akan menggunakan panduan
troubleshooting resmi dari TV tersebut ataukah kita gunakan panduan
troubleshooting lainnya, misalnya panduan troubleshooting radio,
kulkas atau merk TV lainnya?
Bagi orang yang berakal, ia tentu akan menggunakan buku panduan
troubleshooting dari pabrik TV tersebut, karena mereka yakin bahwa
dikarenakan pabrik tersebut yang memproduksi TV itu, maka jelas pabrik tersebut
yang lebih tahu tentang seluk beluk TV itu sehingga buku panduannya lebih utama
untuk dirujuk. Adapun yang merujuk buku panduan selain dari pabrik tersebut,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang bodoh lagi dungu...
Demikian pula kurang lebih dengan
syariat Alloh –dan bagi Alloh permisalan yang lebih tinggi-. Apabila kita dengan
sesama manusia yang sama-sama lemah saja mau menerapkan aturan-aturan yang
mereka buat, lantas mengapa kita tidak mau menerima aturan Alloh yang lebih
tinggi, lebih sempurna, lebih komprehensif, lebih lengkap, lebih mulia dan lebih
mengetahui mana yang paling baik bagi manusia.
Dimanakah kita letakkan akal kita,
ketika kita menggunggat syariat Alloh sedangkan kita seringkali pasrah menerima
aturan dan hukum manusia? Bahkan lebih dahsyat lagi, menerima pemikiran kaum
kuffar liberalis dan menolak hukum dan aturan Alloh?! Dimana akal
sehat kita, ketika kita menolak dan menghujat syariat poligami yang merupakan
sunnah Rasulullah dan para Nabi, namun di sisi lain kita cenderung menerima
budaya kuffar dengan kehidupan bebas liberal yang merendahkan harkat
martabat manusia terutama kaum wanita?!!
Wahai para penghujat dan
antipoligami... gunakanlah akal sehat anda dan perhatikanlah sekelumit hikmah di
balik syariat poligami ini :
1) Rata-Rata
Jangka Hidup Kaum Wanita Lebih Tinggi Dibandingkan Pria
Islamic Research Foundation (Yayasan
Riset Islami) yang diketuai oleh DR. Zakir Naik, seorang ilmuwan Islam jenius,
menyebutkan bahwa rata-rata jangka hidup kaum wanita lebih tinggi dibandingkan
pria. Secara alami, pria dan wanita kurang lebih memiliki rasio kelahiran yang
sama, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak perempuan lebih memiliki
imunitas (kekebalan tubuh) yang lebih dibandingkan anak laki-laki. Anak wanita,
dilaporkan, lebih mampu melawan germs (sel bakteri atau patogen lainnya)
dan penyakit dibandingkan anak laki-laki, sehingga selama fase pediatric
(anak-anak) angka kematian pada anak laki-laki lebih besar dibandingkan kematian
pada anak perempuan.
Tinjauan berikutnya, selama perang, pria lebih banyak terbunuh
dibandingkan wanita, karena yang lebih banyak turun ke medan perang adalah pria
dibandingkan wanita, sehingga jumlah janda meningkat dan angka populasi wanita
menjadi lebih besar dibandingkan dengan pria. Pria juga lebih banyak mengalami
kecelakaan dan mati dibandingkan wanita, baik kecelakaan di jalan raya maupun
kecelakaan kerja. Pekerjaan pria lebih banyak beresiko, dimana pria banyak
bekerja di kontraktor gedung, menghandle mesin-mesin pabrik dan selainnya
yang resiko kematiannya lebih besar dibandingkan pekerjaan
wanita.
Secara umum, jangka hidup wanita lebih
tinggi dibandingkan pria, sehingga beberapa sensus menunjukkan bahwa jumlah
populasi wanita lebih besar dibandingkan jumlah populasi
pria.
2) Populasi Wanita Di Dunia Lebih
Banyak Dibandingkan Pria
Masih dalam laporan yang sama oleh
IRF, dilaporkan di Amerika Serikat (berikutnya disebut AS), wanita lebih banyak
sekitar 7,8 juta orang dibandingkan pria. New York sendiri, memiliki wanita
lebih dari 1 juta orang dibandingkan pria. Inggris Raya memiliki 4 juta wanita
lebih banyak dibandingkan pria, sedangkan Jerman memiliki 5 juta lebih banyak
dan Rusia 9 juta lebih. Dan hanya Alloh-lah yang lebih mengetahui berapa puluh
atau ratus juta wanita di dunia ini lebih banyak daripada
pria.
:: Sebuah Pertanyaan:
Lalu Kenapa Jika Wanita Lebih Banyak Daripada Pria?
::
Ini mungkin pertanyaan yang akan
muncul, yaitu : kenapa jika wanita lebih banyak dari pria? Apakah ini menjadi
alasan legal dibolehkannya poligami?
Jawaban : Ini sebagian alasan bahwa
poligami itu adalah suatu hal yang practicable (dapat diterapkan).
Sekarang mari kita telaah…
Apabila jumlah wanita lebih banyak
daripada pria, sedangkan Alloh menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan
berpasang-pasangan dan Alloh mensyariatkan atas mereka untuk menikah dan hidup
bersama di bawah ikatan yang legal dan terhormat. Maka tentu saja poligami itu
aplicable.
Kita ambil contoh misalnya negara AS,
di negara ini wanita lebih banyak sekitar 7,8 juta sedangkan di New York sendiri
kaum wanita lebih banyak lebih dari 1 juta orang. Data IRF juga menyatakan bahwa
sepertiga pria di New York adalah kaum Sodomi dan Gay, yang tidak berkeinginan
untuk menikah dengan wanita. AS sendiri secara keseluruhan memiliki
kurang lebih 25 juta kaum gay.
Bahkan seandainya setiap pria di AS menikahi seorang wanita, maka tetap
masih ada lebih dari 20 juta wanita di AS yang tidak bakal mendapatkan suami.
Lantas siapakah yang akan menikahi mereka? Apakah mereka lebih memilih hidup
melajang atau lesbi seks yang menjijikkan?
Ataukah menjadi properti publik
(barang dagangan umum)? Ini tentunya lebih hina daripada menjadi isteri sah
seorang pria yang telah menikah.
Anggaplah misalnya saudara perempuan anda adalah salah satu wanita yang
tidak menikah tinggal di AS karena tidak mendapatkan pria lajang yang bisa
menikahinya. Hanya ada dua pilihan baginya dan tidak ada ketiga, yaitu ia
menikahi seorang pria yang telah beristri atau ia menjadi properti publik dengan
hidup melajang. Tentu saja bagi orang yang memiliki akal sehat, menjadi isteri
pria yang telah menikah adalah pilihan yang lebih baik, karena selain ia
memiliki hak-hak legal sebagai isteri, ia juga mendapatkan hak perlindungan dan
nafaqoh (nafkah).
:: Skandal Menjijikkan :
Para Pemimpin Negara Eropa Banyak Memiliki Gundik/Wanita
Simpanan ::
Negara Eropa, terutama para pemimpin,
politisi hingga jurnalisnya, sering meneriakkan antipoligami. Mereka sering
berkoar-koar tentang hak asasi wanita dan kesetaraan gender atau semisalnya.
Mereka paling kritis apabila berbicara tentang Islam terutama mengangkat issue
Poligami untuk menunjukkan ’kebobrokan’ Islam. Padahal mereka sendirilah yang
bobrok dan hipokrit.
Seorang jurnalis wanita asal Swedia,
bernama Kristina Forsen menulis sebuah buku yang berjudul “Francois Told Me”.
Francois yang dimaksud dalam bukunya adalah mantan Presiden Perancis, Francois
Mitterand. Di dalam buku ini, Forsen membuka aib hubungan gelapnya dengan mantan
presiden pasca kematiannya yang terjalin selama 17 tahun, setelah kematian
Francoas.
Buku ini memuat foto-foto dan gambar
mesum antara dirinya dan mantan Presiden selama belasan tahun, dan buku ini
menjadi ”best seller” di pasaran. Forsen dapat berhubungan dengan mantan
Presiden Francois melalui peran Perdana Menteri Swedia, Olof Palme yang meminta
Francois supaya bersedia diwawancarai oleh jurnalis yang sangat antusias lagi
cantik ini.
Kristina Forsen tidak merasa malu
membuka skandalnya ini dan tidak merasa bersalah terhadap keluarga Francois. Dia
menyatakan bahwa dia dan Francois memiliki rumah pribadi di hutan, dimana mereka
dapat bertemu berdua tanpa diketahui oleh isteri Francois, pers bahkan tanpa
diketahui oleh bodyguard pribadi presiden. Hubungan gelap mereka ini
melahirkan seorang bocah yang bernama Marvin. [Lihat Wives Rather
Than Mistresses, op.cit]
Seorang veteran kolumnis Mesir, Anees
Mansour menulis di dalam harian-nya ”Al-Ahram” tentang seorang politisi terkenal
Perancis, George Clememceau yang ia sebut sebagai ”Tiger of France’s Politicy”.
Mansour berkata
tentangnya :
George Clemenceau who lived between
1841 ‑ 1929, waged horrible political battles and defeated everybody whom he
fought. He was able to talk to twenty people about twenty subjects at one and
the same time! However, no one had ever perceived that the shrewd politician
kept 800 mistresses, who gave birth to forty illegitimate
children
“George Clemenceau yang hidup antara 1841 – 1029, berperang di dalam
pertarungan politik secara mengerikan dan mengalahkan siapa saja yang bertarung
dengannya. Dia mampu berbicara dengan dua puluh orang tentang 20 subyek bahasan
pada satu tempat dan satu waktu! Namun, tidak ada seorangpun yang pernah
memperhatikan bahwa ia adalah seorang politisi lihai yang memiliki 800 gundik
(wanita simpanan) yang memberikannya sampai 40 anak yang tidak sah.”
[ibid]
Di Austria, Pers telah mengekspos
Presiden Thomas Klestil memiliki wanita simpanan yang merupakan pegawai
kementerian Luar Negeri. Media massa menjejak balik hubungan mereka semenjak
Klestil masih menjadi Menteri Luar Negeri hingga naik ke tampuk kekuasaan
Presiden. Berita ini terkuak setelah media massa mendapatkan bahwa isteri
Klestil, Edith, minggat dari rumah dalam keadaan murka dan menuntut cerai.
[ibid]
Adapun Amerika Serikat, maka negara
ini merupakan negara yang para pemimpinnya paling bejat, sering terlibat skandal
seks yang menjijikkan. Masyakat Amerika Serikat gemar dengan berita-berita
skandal yang terjadi pada para pemimpin mereka atau para artis, hal ini terbukti
dari buku-buku yang membongkar skandal para pemimpin senior adalah buku-buku
yang best seller.
Diantara buku best seller tersebut
adalah ”Inside The White House”, ditulis oleh seorang jurnalis AS terkenal,
Ronald Kissler. Di dalam buku ini, Kissler menelanjangi aib skandal para
pemimpin negara adidaya ini secara mendetail dan ‘vulgar’.
Presiden AS terburuk dalam skandal ini, adalah Linden Johnson, ia
meniduri 5 sekretarisnya dari 8 sekretaris yang diperkerjakan di Gedung Putih.
Ia pun tidak segan-segan mengejar-ngejar wanita cantik di dalam pesta-pesta yang
ia hadiri, lalu ia memerintahkan bawahannya untuk mengirimnya agar bisa ia
tiduri, perlu dicatat keinginan Presiden haruslah dipenuhi. Ia dilaporkan
memiliki banyak sekali gadis simpanan mulai dari jurnalis, sekretaris sampai
wanita malam.
Presiden AS Franklin Delano Roosevelt
yang berkuasa pada tahun 1933, dan terpilih lagi pada tahun 1940, adalah orang
yang dikatakan ’womanizing’ (suka main perempuan). Walaupun ia duduk di kursi
roda, ia masih tetap suka main perempuan. Diantara gundik terkenalnya adalah
Lucy Ratherford, yang selalu ia temui setiap Eleanor, isterinya, tidak berada di
sisinya.
Lebih memalukan lagi, Ruth Carter,
saudari perempuan Jimmy Carter, dulunya ia adalah seorang pendeta wanita
terkenal, bahkan seringkali disebut sebagai aktivis missionaris yang selalu
berkhutbah dan berdakwah menyeru kaum non kristiani supaya masuk agama Kristen.
Ketika
skandal terkuak, media massa AS dan Jerman mengekspos hubungan skandal seks-nya
dengan mantan duta besar Jerman, Willie Brandt. Media massa mem’bloom’ing
berita ini dan menyatakan :
”Love Affair between ’married
preacher’ and the former German Chancellor. The Christian preacher’s husband was
the last to know about his wife’s sexual infidelity.”
“Hubungan Asmara antara pendeta yang
telah menikah dengan mantan duta besar Jerman. Suami pendeta kristen tersebut
adalah orang terakhir yang mengetahui skandal seks perselingkuhan
isterinya.”
Tidak kalah memalukannya, Pendeta
Kristen terkenal AS yang namanya telah melambung di seantero dunia sebagai
seorang pengkhutbah terkenal, yang pernah berdebat di dalam sebuah debat
fenomenal terkenal dengan Syaikh Ahmed Deedat rahimahullahu, Pendeta
Clergyman Jimmy Swaggart. Ia terlibat skandal seksual dengan seorang prostitusi
(pelacur) yang akhirnya ia akui di sebuah interview pada stasiun televisi
terbesar di AS. Sebelumnya, Swaggart ini orang yang terkenal sebagai pengkhutbah
yang sering menyeru kepada “kebajikan” dan “jalan Jesus Christ”, ia sering
memburukkan citra Islam terutama dalam masalah poligami, namun akhirnya ia
tersandung skandal menjijikannya dengan seorang pelacur.
Bahkan, tidak sedikit buku telah
ditulis oleh jurnalis Eropa, yang membongkar skandal kaum pendeta dan pastur
Kristiani, yang terlibat skandal seks bebas (perzinaan), prostitusi,
homoseksual, pedofili dan perselingkuhan rumah tangga. Ini semua menunjukkan
kebobrokan moral dan akhlaq mereka.
Presiden John Fitzgerald Kennedy, juga masyhur dikenal akan
perselingkuhannya dengan banyak wanita. Diantara selingkuhan terkenalnya adalah
Marilyn Monroe, selebritis Hollywood cantik saat itu, yang secara misterius
terbunuh. Pembunuhan misterius ini dipercayai sebagian kalangan didalangi oleh
“Central Intelligence Agency” (CIA) AS. Ironinya, adik Kennedy sendiri, Robert
yang saat itu menjadi Pengacara umum AS, juga terlibat jalinan asmara dengan
Monroe bersamaan dengan jalinan asmara kakaknya, mereka sering berhubungan
ketika Monroe tidak bertemu dengan John.
Presiden Kennedy, diceritakan memiliki
sepuluh wanita simpanan sebelum ia berhubungan dengan Jacquelyn, isterinya. Dia
juga berhubungan dengan dua sekretarisnya yang disebut dengan si pirang (blonde)
Videl dan si rambut merah (brunette) Fadel. Ia juga memiliki hubungan asmara
dengan Judith Campbel, yang bekerja dengan mafia.
George Bush Senior, Presiden AS paling
ambisius dan penjahat kemanusiaan terkenal, tertangkap media massa sedang
menghadapi tuduhan perselingkuhan menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita
yang bernama Jennifer. Susan Trenfu, salah seorang penulis terkenal menyebutkan
perselingkuhan Bush ketika masih menjadi wakil Presiden di dalam
bukunya.
”Monicagate”, merupakan salah satu skandal terkenal yang menimpa Presiden
termuda dalam sejarah AS, Bill Clinton. Ia terlibat skandal seks setelah Monica
Lewinsky melaporkannya dan menuntutnya. Sebelumnya, Clinton juga memiliki
skandal dengan Jennifer Flowers, Paula Jones dan sejumlah wanita lainnya.
[lihat masalah skandal ini dalam In The Lobby of Congress dan
Inside The White House; dicuplik dari Wives Rather Than Mistress,
op.cit].
Fenomena memalukan ini, belum lagi
angka kejahatan seksual, skandal, perselingkuhan dan selainnya adalah suatu hal
yang lazim di negara-negara ini. Penulis sengaja menyebutkan contoh-contoh
memalukan ini untuk menggambarkan keadaan negara yang mem-ban (melarang)
poligami, bahkan mencerca dan menghujatnya.
Garis demarkasi pemisah antara yang
baik dan buruk di negeri ini benar-benar tidak tampak. Padahal garis demarkasi
ini haruslah ada untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Poligami
adalah suatu realita yang tidak dapat disingkirkan atau dianggap tidak ada
begitu saja. Bahkan ia adalah legal dan diperbolehkan di dalam Islam. Poligami
merupakan salah satu solusi legal dan permitted di dalam
mengantisipasi kejahatan-kejahatan seksual tersebut.
Akankah kita menolak poligami namun membiarkan dan menyuburkan praktek
perselingkuhan?! Apakah membiarkan kaum wanita menjadi mistresses
(gundik/wanita simpanan) lebih baik daripada menjadikan mereka sebagai
isteri-isteri yang legal, yang mendapatkan hak nafkah, pertanggungjawaban dan
perlindungan?! Manakah yang lebih baik, perzinaan ataukah pernikahan? Poligami
ataukah perselingkuhan?
Sungguh, mempersamakan poligami dengan
selingkuh itu sama saja dengan mempersamakan antara pernikahan dengan
perzinaan.
:: Sebuah Protes :
Kenapa Hanya Poligami Yang Diperbolehkan Bukan Poliandri? ::
Kenapa Hanya Poligami Yang Diperbolehkan Bukan Poliandri? ::
Sebagian kaum memprotes,
kenapa seorang pria diperbolehkan beristeri lebih dari satu (poligami) namun
melarang wanita bersuami lebih dari satu (poliandri)?
Jawab : Sebelumnya,
izinkan penulis sekali lagi menekankan dan menjelaskan, bahwa Islam itu adalah
agama yang adil dan landasan bagi masyarakat Islam itu adalah keadilan dan
kesetaraan. Alloh menciptakan pria dan wanita itu sama (equal) namun
dengan beberapa perbedaan kemampuan dan perbedaan tanggung jawab. Pria dan
wanita berbeda secara psikologi dan fisiologi, peran dan tanggung jawab mereka
juga berbeda. Wanita dan pria di dalam Islam itu sama namun tidak identik. Insya
Alloh penulis akan menurunkan tulisan khusus tentang hal ini.
Alloh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman di dalam surat an-Nisaa’ ayat
24,
yang artinya :
”Dan (diharamkan bagi kamu mengawini)
wanita yang bersuami
kecuali
budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
”.
”.
Ayat ini menunjukkan secara
tegas larangan menikahi wanita yang telah bersuami. Maka, Alloh Subhanahu wa
Ta’ala sendiri menegaskan akan larangan poliandri bagi wanita. Sebagaimana
telah berlalu, bahwa apa yang Alloh syariatkan maka tentu itu adalah yang
terbaik.
Apabila mereka menuntut alasan logis
tentang hal ini, maka dengan logika dan akal sehat, secara fisiologi dan
psikologi, wanita tidak dilegalkan melakukan poliandri. Berikut ini adalah
sekelumit alasan tersebut :
-
Berdasarkan morfologi dan fisiologi, wanita secara alamiah adalah resipient (penerima) sedangkan pria adalah donor (pemberi). Resipient maksudnya adalah penerima sel spermatozoa sedangkan donor maksudnya pemberi sel spermatozoa. Secara logika sederhana, penerima itu lebih terbatas dan terspesifikasi daripada pendonor.
-
Wanita memiliki virginity (keperawanan) yang jelas berupa selaput pembuluh darah sedangkan pria tidak. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan pada pria yang menikahinya.
-
Dalam satu siklus, wanita hanya mampu mengeluarkan satu sel telur –atau beberapa sel telur- sedangkan pria mampu menghasilkan berjuta-juta sel spermatozoa dan dapat berlangsung secara berulang-ulang. Secara alamiah, ini menunjukkan bahwa pria lebih poligamis dibandingkan wanita.
-
Apabila terjadi fertilization (pembuahan) dan terbentuk foetice (fetus/janin) hingga akhirnya menjadi infant (bayi), identifikasi ayah kandung bagi bayi tersebut susah diketahui kecuali menggunakan tes DNA yang rumit, butuh waktu lama dan mengeluarkan banyak biaya. Sedangkan seorang lelaki yang berpoligami, apabila isteri-isterinya melahirkan maka dengan mudah dapat diketahui siapa ayah dari bayi-bayi tersebut.
-
Ahli psikologi menyatakan bahwa anak yang tidak mengetahui orang tuanya terutama ayahnya, cenderung mengalami gangguan mental (mental disturbance) dan trauma masa kecil (traumatic childhood). Islam juga sangat mementingkan nasab yang kembalinya kepada seorang ayah, apabila tidak diketahui ayahnya, maka penasabannya juga akan sulit, dan implikasinya kepada hukum waris dan semisalnya.
-
Wanita memiliki perubahan-perubahan fisiologi yang lebih drastis dibandingkan pria, terutama pada fase siklus mentsruasi, pregnancy (mengandung) dan nifas (mengeluarkan darah melahirkan) selama kurang lebih 40 hari. Selama fase ini, organ seksual wanita sangat rentan dan riskan, sedangkan pria tidak mengalami hal ini.
-
Perubahan psikologi wanita akibat siklus alamiahnya secara drastis. Ahli psikologi dan psikiatri melaporkan bahwa wanita lebih cenderung mengalami perubahan psikologi dan mengalami sindrom seperti pre mentsrual syndrome, pregnancy, pra & post natal depression. Semua gangguan ini menyebabkan kelabilan emosi, kerentanan penyakit dan gangguan mental. Hal-hal ini menyebabkan wanita kurang dapat memenuhi tugasnya sebagai isteri.
-
Wanita memiliki fase menopause sedangkan pria tidak.
-
Wanita yang memiliki beberapa orang suami dan melakukan hubungan seksual dengan semua suaminya pada hari yang sama memiliki kecenderungan penyakit seksual atau gangguan organ seksual daripada pria yang memiliki banyak isteri.
Dan masih ada lagi alasan-alasanya
lainnya, dan alasan-alasan di atas adalah alasan ilmiah dan alamiah yang dapat
diidentifikasi dengan mudah. Alhasil, secara fisiologis dan
psikologis, pria secara alamiah lebih poligamis dibandingkan wanita.
:: Para Pemikir Barat Merekomendasikan
Poligami ::
(1/2)
Tidak dinyana, di
tengah-tengah gencarnya aksi protes dan hujatan terhadap poligami, para pemikir
western setelah melakukan penelitian dan berangkat dari pengalaman
hidupnya, turut merekomendasikan poligami.
Phillip Killbride, seorang
Profesor Antropologi pada Bryn Mawr College Pennsylvania menulis sebuah buku
yang berisi studi tentang poligami yang berjudul ”Plural Marriage for Our Times
– Reinvented Options” (Westport, Connecticut: Bergin and Garvey: 1994). Ia
melakukan sebuah studi mendalam tentang poligami dan dipaparkannya dalam
seribuan halaman bukunya ini dimana Professor Killbride menunjukkan beserta
bukti dan contoh-contohnya bahwa poligami di zaman ini memiliki benefit
(keuntungan) yang positif.
Audrey Chapman, seorang
family therapist and relationship expert (ahli terapi masalah keluarga
dan hubungan), menulis buku “Man Sharing : Dilemma or Choice” (New York: William
Morrow and Co.: 1986) yang menunjukkan perbandingan baik buruknya poligami, yang
akhirnya dia menunjukkan bahwa poligami adalah opsi terbaik di dalam
menanggulangi masalah-masalah percintaan, keluarga dan
moralitas.
Seorang aktivis pembela
hak-hak wanita dan mantan pengacara, Adriana Blake, menulis buku ”Women Can
Win The Marriage Lottery : Share Your Man With Another Wife – The Case For
Plural Marriage” (Orange County University Press, 1996), merekomenasikan
bahwa poligami adalah opsi terbaik di dalam meninggalkan kelajangan dan
memperoleh hak-hak hidup yang legal dan terhormat di saat penipuan, kejahatan
seksual dan degradasi moral terjadi.
Annie Besant, seorang
pemikir dan ahli teologi terkenal, yang namanya tidak asing bagi kalangan
feminis dan liberalis atau pemerhati buku, dimana tidak sedikit karya tulisnya
berjejer di rak-rak buku Islami, ia mengatakan :
You
Can Find others stating that religion (Islam) is evil, because it sanctions a
limited poligamy. But you don’t hear as a rule the criticism which I spoke out
one day in a london hall where I knew that the audience was entirely
uninstructed. I pointed out to them that monogamy with a blended mass of
prostitution was hypocrisy and more degrading than a limited poligamy. Naturally
a statement like that gives offence, but it has to be made, because it must be
remembered that the law of Islam in relation to women was untill lately, when
parts of it has been imitated in England, the most just law as far as women are
concerned, to be found in the world. Dealing with property, dealing with rights
of succession and so on, dealing with cases of divorce, it was far beyond the
law of the West, in the respect that was paid to the rights of women. Those
things are forgotten while people are hypnotized by the words monogamy and
poligamy and do not look at what lies behind it in the West – the frightful
degradation of women who are thrown into the streets when their first potectors,
weary of them, no longer give them any assistance… I often think that woman is
more free in Islam than in Christianity. Woman is more protected by Islam than
by the faith which preaches monogamy. In the Qur’an the law about woman is more
and liberal. It is only in the last twenty years that christian England, has
recognised the rigt of a woman to property, while Islam has allowed this rigth
from all times…”
“Anda dapat menemukan orang-orang lain menyatakan bahwa agama (Islam) ini
buruk, karena memperbolehkan poligami yang terbatas. Tapi Anda tidak mendengar
lazimnya kecaman yang saya lontarkan pada suatu hari di “London Hall” (Balai
Pertemuan London) dimana saya telah mengetahui bahwa para hadirin ketika itu
sama sekali tidak terkendali. Aku tunjukkan pada mereka bahwa monogami yang
disertai dengan campuran unsur prostitusi di dalamnya adalah suatu kemunafikan
dan lebih hina dibandingkan dengan poligami terbatas. Secara alami, pernyataan
seperti itu akan mendapatkan penentangan, namun hal ini mau tidak mau harus
dinyatakan, karena haruslah diingat bahwa hukum Islam yang berkaitan dengan
wanita hingga sampai saat ini, ketika beberapa bagian dari hukum itu ditiru di
Inggris, adalah hukum yang paling adil, sejauh mana (hak-hak) wanita (juga)
dipedulikan, (yang) dapat ditemukan di dunia, baik yang berkaitan dengan
properti (barang/hak milik), berkaitan dengan hak warisan atau selainnya, atau
berkaitan dengan perceraian, dan ini semua berada jauh sebelum hukum Barat
memberikan respek dan mengatur hak-hak wanita. Semuanya ini dilupakan ketika
mereka terhipnotis dengan kata-kata monogami dan poligami dan tidak melihat apa
yang berada di belakangnya di dunia Barat – (ketika) perendahan wanita secara
mengerikan yang dibuang di jalanan, dimana pelindung pertama mereka bosan
terhadap mereka dan tidak dapat lagi memberikan pertolongan bagi mereka… Saya
sering berfikir bahwa wanita lebih bebas di dalam Islam daripada di kristiani.
Wanita lebih dilindungi oleh Islam daripada keyakinan yang memuji monogami.
Di
dalam al-Qur’an, hukum tentang wanita itu lebih adil dan liberal. Hanya baru
pada abad dua puluh ini negeri Inggris yang kristiani, mengenal hak-hak wanita
tentang properti (kepemilikan) sedangkan Islam memperbolehkan hak (kepemilikan)
ini pada semua waktu...” [Annie Besant,
The Life and Teachings of Muhammad (Madras:1932), hal.
25-26].
Apa yang dilontarkan oleh Annie
Bessant ini adalah pernyataan yang jujur dan obyektif.
Demikian pula apa yang dinyatakan oleh Elizabeth Joseph, seorang
pengacara dan jurnalis dari Big Water - Utah, yang memberikan ceramah di
National Organization for Women Conference (Konferensi Organisasi
Nasional Bagi Wanita) yang berjudul : “Creating Dialogue : Women Talking to
Women” pada bulan Mei tahun 1997. ia memberikan pendapat positif tentang
poligami. Ia mengatakan bahwa salah satu pahlawan wanitanya, yaitu Dr. Martha
Hughes Cannon yang menjadi wanita pertama anggota dewan legislatif pada tahun
1896, bahwa Dr. Martha ini bukan hanya seorang dokter namun ia juga seorang
isteri yang dipoligami.
Elizabeth juga berkata
:
As a Journalist, I work many
unpredictable hours in fast-paced environtments. The news determined my
schedule. But am I calling home, asking my husband to please pick up the kids
and pop something in the microwave and get them to bed on time just in case I’m
really late? Because of my plural marriage arrangement, I don’t have to worry…
it’s helpful to think of Polygamy in terms of a free market approach to
marriage. Why shouldn’t you or your daughters have the oppurtinity to marry the
best man available, regardless of his marital status?
“Sebagai seorang jurnalis, aku seringkali bekerja dalam waktu yang tidak
dapat diprediksikan di dunia yang serba cepat ini. Beritalah yang menentukan
jadwalku. Tapi, apakah aku pernah menelpon rumah, meminta suamiku untuk
menjemput anak-anak dan memasak sesuatu di microwave dan menidurkan mereka pada
waktunya, khawatir kalau-kalau aku nanti benar-benar terlambat? Karena rencana
perkawinan poligami-ku-lah aku tidak perlu khawatir… sangatlah membantu untuk
berfikir tentang poligami dalam bentuk pendekatan pasar bebas di dalam menikah.
Kenapa anda atau saudara perempuan anda tidak mencoba menikahi pria terbaik yang
pernah ada, tanpa mempedulikan status perkawinannya?”
:: Mencermati Hikmah Poligami
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ::
(1/2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ::
(1/2)
Tidak ada manusia terbaik di muka bumi
ini selain Rasullullah dan tidak ada manusia teradil di muka bumi ini selain
Nabi yang mulia ‘alaihi ash-Sholatu was Salam. Beliau adalah
qudwah (tauladan) bagi umat manusia yang tiada sesuatu keluar dari lisan
dan perilaku beliau melainkan adalah wahyu yang diwahyukan kepada
beliau.
Kaum kuffar orientalis dan pembebeknya
dari kalangan liberalis sosialis feminis mencela beliau dengan celaan yang jelek
dan buruk. Mereka mencela Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Salam
sebagai manusia biasa yang memiliki syahwat besar dan kelainan orientasi seksual
–ma’adzallah-; semua celaan dan hujatan keji ini berangkat dari hasad,
kedengkian dan kebodohan mereka terhadap figur yang mulia ini dan sejarah
beliau.
Bagi siapa yang menelaah sejarah dan perikehidupan beliau, niscaya akan
mendapatkan bahwa apa yang beliau lakukan adalah bebas dari tuduhan-tuduhan kaum
kuffar yang dengki itu, sebagaimana bebasnya darah serigala dari baju Yusuf
‘alaihis Salam. Bagi mereka yang menggunakan kaca mata obyektivitas dan
keadilan, niscaya mereka akan mendapatkan bahwa pernikahan Nabi itu adalah
pernikahan yang berangkat dari upaya untuk ta`liful Qulub (melunakkan
hati), tatyibun Nufus (mengobati jiwa), tamhidul ardh lid da’wah
(membuka jalan dakwah), munashoroh (menolong/membantu) dan yang
terakhir adalah tathbiqu haqqohu ath-thabi’i (memenuhi hak beliau sebagai
tabiat/fithrah manusia), karena beliau adalah manusia biasa dan bukanlah seorang
malaikat yang tidak berhasrat.
Kami telah menyebutkan di awal
pembahasan bahwa menikah merupakan sunnah para Nabi dan tabiat mendasar manusia.
Bahkan Isa (Jesus) dan Yahya (John The Baptist) yang diklaim kaum Kristiani
tidak menikah, tetap tidak menunjukkan akan adanya larangan menikah dan poligami
baik di dalam empat injil (gospels) maupun di dalam bible, dan mereka pun
tidak akan mampu menunjukkannya, walau menurut keyakinan kami kitab injil
tersebut telah ditahrif (diubah-ubah).
Kita lihat, isteri pertama Rasulullah adalah Khadijah binti Khuwailid
radhiyallahu ‘anha, seorang janda Abu Hala Hind bin Nabbasy at-Tamimi,
lalu ketika Abu Hala meninggal, Sayyidah Khadijah menikah dengan ‘Atiq bin ‘Abid
al-Makhzumi. Rasulullah menikahi beliau pada usia 25 tahun sedangkan Sayyidah
Khadijah berusia 40 tahun. Perhatikanlah wahai kaum yang berakal, Rasulullah
selama 25 tahun masa lajangnya, yang dikenal dengan orang yang jujur, amanah dan
menjaga diri beliau dari keburukan, tidak pernah berhubungan dengan wanita dan
wanita pertama yang beliau nikahi adalah Khadijah. Apabila Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah
seorang yang gila wanita dan
syahwatnya besar –ma’adzallah, semoga Alloh melaknat kaum yang berkata
demikian- niscaya beliau akan menikahi wanita-wanita pada usia remaja dimana
kaumnya saat itu telah terbiasa dengan pernikahan poligami tidak terbatas dan
menikah pada usia muda. Perkawinan pertama Rasulullah dengan
Sayyidah Khadijah berlangsung hingga tahun sepuluh kenabian atau tiga tahun
menjelang hijrah.
Sepeninggal Khadijah radhiyallahu
‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ditawari oleh Khaulah
binti Hakim untuk menikahi salah satu dari dua orang wanita, satu perawan
(Aisyah), dan satu lagi janda (Saudah), dan lihatlah!!! Rasulullah lebih memilih
menikahi Saudah bintu Zam’ah radhiyallahu ‘anhu, seorang janda dari
Kasron bin ‘Amru bin ‘Abdi asy-Syams yang merupakan sepupunya sendiri. Sayyidah
Saudah ini berbadan gemuk dan berkulit hitam –Allohumma, kami tidak
bermaksud sedikitpun mencela penampilan fisik Sayyidah Saudah, dimana beliau
adalah diantara wanita terbaik dan ahli surga, ibu kami kaum mukminin-.
Rasulullah mau menikahi Sayyidah Saudah yang jauh lebih tua dan seorang janda
yang memiliki anak banyak. Apabila Rasulullah menikahi wanita hanya untuk
mengumbar syahwat, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak
akan menikahi Sayyidah Saudah radhiyallahu ‘anha.
Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar adalah
isteri ketiga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Pinangan Rasulullah atas
Aisyah telah menyelamatkan Abu Bakar dari dilema antara menikahkan putrinya
dengan seorang kafir atau mengingkari janjinya kepada Muth'im bin ‘Adi orang tua
dari pemuda kafir tersebut yang telah dijanjikan untuk menikahi putrinya.
Sungguh beruntung bahwa yang terjadi justru istri Muth'im bin ‘Adi tidak
menghendaki anaknya menikahi Aisyah karena tidak menginginkan anaknya masuk
agama baru yang dibawa Nabi, maka pinangan Rasulullah pun diterima. Hal itu
terjadi pada tahun yang sama -sepuluh kenabian-, namun baru berkumpul pada saat
di Madinah tiga tahun kemudian-. Sejarah mencatat perbedaan pendapat tahun
berapa Sayyidah ‘Aisyah dinikahi dan digauli, mulai usia 9-15 tahun. Namun suatu
hal yang perlu dicatat, pernikahan dini usia muda ketika wanita telah mencapai
baligh, bukanlah suatu penyakit pedofili atau kelainan seksual
–ma’adzalloh-, namun ini kembali ke kultur adat dan budaya setempat. Kaum
Quraisy telah terbiasa menikahkan puteri mereka yang berusia belia, terutama
kepada orang yang mereka hormati.
Sensitifitas modern kadang merasa risih dengan hal ini, tapi hal ini
terjadi pada satu komunitas yang memandang usia 9-15 th, adalah usia terendah
bagi seorang anak perempuan untuk dikawini, itupun 14 abad yang lalu. Hingga
akhir-akhir inipun beberapa komunitas masih memberlakukan adat pernikahan dini.
Namun demikian pernikahan anak usia dini adalah lebih baik ketimbang merebaknya
pergaulan bebas yang membuat anak usia tersebut sudah tidak ada yang perawan,
walaupun secara resmi mereka menikah pada usia 28 ke atas. Toh kenyataannya usia
28 sebagai patokan perkawinan di beberapa negara maju hanya berdasarkan faktor
psikologis dan masalah karir serta emansipasi, namun diluar formalitas itu
kebejatan seksual merebak dimana-mana pada tingkat yang paling vulgar.
Perbandingannya jika ada komunitas (manapun) yang mengawinkan putrinya pada usia
dini di Amerika anak usia yang sama sudah tidak perawan lagi. Perbedaan dalam
agama, yang satu formal, yang satu lagi zina. Perzinaan sejak dini akan dibawa
hingga masa perkawinan, maka akibatnya penyelewengan suami atau istri adalah hal
biasa, dan ajaran Yesus yang tidak mengizinkan perceraian menjadi lelucon
belaka. [Irene Handono, Menjawab Buku “The Islamic
Invasion”, versi CHM download dari www.pakdenono.com]
Isteri keempat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah
Hafshah binti ‘Umar bin Khaththab, janda dari Khunais bin Hudzafah as-Sahmi yang
masuk Islam dan berhijrah ke Madinah bersamaan dengan Sayyidah Hafshoh. Beliau
radhiyallahu ‘anhu syahid di perang Uhud. Ketika selesai
masa ‘iddah-nya, ‘Umar menawarkan puterinya kepada Sahabat agung Abu Bakr
namun Abu Bakr diam tidak meresponnya, sehingga marahlah ‘Umar. Lalu beliau
datang ke Sahabat agung ‘Utsman bin ‘Affan dan menawarkan puterinya kepadanya,
namun ‘Utsman tidak menyetujuinya sehingga murkalah ‘Umar. Melihat hal ini, Abu
Bakr mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan mengadu
kepada beliau, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri yang
melamar Hafshoh dan menikahinya sebagai penghormatan dan pemuliaan kepada ‘Umar
sebagaimana Rasulullah menikahi ‘Aisyah sebagai penghormatan kepada Abu Bakr.
Setelah itu Abu Bakr pun berkata kepada ‘Umar bahwa beliau diam tidak mau
menjawab permintaan ‘Umar karena Abu Bakr pernah mendengar bahwa Rasulullah
menyebut-nyebutnya...
Demikianlah pernikahan nabi dengan para isteri sahabat-sahabat yang mulia
ini radhaiyallahu ‘anhum ajma’in, dan beliau tidaklah menikahi mereka
melainkan diantaranya adalah sebagai penghormatan dan pemuliaan kepada Abu Bakr
dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Siapakah gerangan yang tidak menginginkan
puterinya dinikahi oleh manusia terbaik dan teragung sepanjang masa? Siapakah
gerangan yang tidak ingin dinikahi oleh manusia terbaik dan teragung sepanjang
zaman?
Sayyidah Zainab binti Khuzaimah yang
digelari Ummu Masakin (Ibunya kaum miskin) radhiyallahu ‘anhu adalah
isteri kelima Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam.
Beliau adalah janda dari Thufail bin al-Harits bin ‘Abdul Muthollib yang
menceraikannya, lalu dinikahi oleh sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam ‘Ubaidah bin al-Harits yang juga saudara mantan suaminya, dan beliau
syahid pada perang Badar meninggalkan seorang isteri yang menjadi janda tidak
ada lagi yang melindunginya. Maha Besar Alloh, apakah menjaga dan menikahi janda
sahabat dan sepupu Nabi yang syahid merupakan suatu bentuk kelainan seksual dan
gila wanita?!! Apakah suatu bentuk mengikat jalinan silaturrahim kepada keluarga
sahabat dan syahid dengan memberikan hak-hak pemeliharaan dan perlindungan
atasnya adalah suatu keburukan?!! Dimanakah gerangan akal kaum yang berakal?!!
Allohumma, Sayyidah Zainab pun meninggal beberapa bulan setelah
pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Semoga
Alloh meridhainya dan menjadikannya bidadari surga.
Isteri berikut Nabi yang mulia adalah Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhu yang nama asli beliau adalah Hindun bintu Suhail bin al-Mughiroh yang
seorang janda dari Abu Salamah ‘Abdullah bin ‘Abdul Asad al-Makhzumi
radhiyallahu ‘anhu yang syahid di dalam peperangan Sariyah Qothn
setelah sebelum sebelumnya beliau terluka para dalam peperangan uhud. Abu
Salamah radhiyallahu ‘anhu meninggalkan isteri dan anak yang banyak.
Setelah masa iddah berlalu, Sayyidah Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha dipinang oleh Abu Bakr dan ‘Umar namun beliau menolaknya. Demikian
pula ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meminangnya, beliau
juga menolak. Alasan penolakan beliau adalah karena beliau adalah wanita yang
sudah tua, banyak anak dan pencemburu. Mendengar ini, Nabi yang mulia
Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun menjawab :
أما ما ذكرت من غيرتك
فيذهبها الله .. وأما ما ذكرت من سنك فأنا أكبر منك سنا ... وأما ما ذكرت من أيتامك
فعلى الله وعلى رسوله
“Adapun mengenai sifat pencemburumu
semoga Alloh menghilangkannya, mengenai umurmu yang sudah tua maka aku sendiri
lebih tua darimua, dan adapun mengenai anak-anakmu yang yatim maka itu
tanggungan Alloh dan Rasul-Nya.” [Lihat Sunan an-Nasa`i,
Kitabun Nikah, Juz VI hal 81; melalui Zaujaat La ‘Asyiqot,
op.cit.].
:: Mencermati Hikmah Poligami
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ::
(2/2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam ::
(2/2)
Dalam pembentukan komunitas baru yang
menjadikan keluarga dan perkawinan sebagai salah satu instrumennya, maka
perhatian terhadap janda dan anak-anak yang ditinggal ayah mereka yang syahid
akibat peperangan adalah suatu yang sudah semestinya, apalagi kesempatan
mendapatkan kebutuhan sehari-hari di tanah yang gersang tidaklah semudah yang
dibayangkan, tidak heran jika ada yang menjual manusia dipasar budak demi
mencukupi kehidupan sehari-hari. Langkah Rasulullah yang juga diikuti para
sahabatnya untuk memperhatikan para janda dan anak-anaknya, tampak dalam
beberapa perkawinan yang kita sebutkan di atas. [Irene
Handono, op.cit]
Adapun mengenai isteri beliau, Ummu Habibah Romlah bintu Abi Sufyan bin
Harb radhiyallahu ‘anha, ada sebuah kisah yang perlu dijelaskan tentang
latar belakang pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam. Ummu Habibah adalah isteri ‘Ubaidillah bin Jahsyi bin Khuzaimah, yang
turut berhijrah dengan isterinya ke Habasyah (Abesinia) pada hijrah kedua. Namun
terjadi fitnah dimana ‘Ubaidillah suami Ummu Habibah murtad keluar dari Islam
–wal’iyadzubillah- sedangkan Ummu Habibah tetap kokoh di atas
keislamannya. Beliau (Ummu Habibah) tidak dapat kembali ke Makkah dikarenakan
ayahanda beliau, Abu Sufyan adalah termasuk pembesar Quraisy yang senantiasa
berupaya mencederai Nabi dan para sahabat beliau. Seandainya Ummu Habibah
kembali ke Makkah, akan membahayakan agama dan keadaannya. Oleh karena itu
haruslah memuliakan dan membebaskan Ummu Habibah dari suaminya yang telah murtad
kemudian mati di Habasyah.
Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Salam mengirim surat kepada Najasyi (Negus) Raja Habasyah yang telah masuk
Islam, memintanya untuk menjaga Ummu Habibah. Setelah hijrahnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam ke Madinah, Najasyi mengirimkan Ummu Habibah
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan penuh penghormatan.
Ketika Abu Sufyan mendengar bahwa puterinya dinikahi oleh Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa Salam, begitu riang dan gembiranya dirinya dan
mengakui bahwa Muhammad adalah menantu terbaiknya yang pernah ia miliki,
walaupun ia memusuhi Muhammad dan agamanya...
[Thobaqot Ibnu Sa’d, juz VIII, hal. 109 dst.; melalui Zaujaat Laa
‘Ayisqoot, op.cit.].
Wahai kaum yang berakal, apakah menyelamatkan seorang wanita yang tengah
bertahan mempertahankan aqidahnya dengan menikahinya, menjaganya dan
melindunginya dari suaminya yang murtad dan bapaknya yang masih musyrik saat itu
merupakan tindakan gila wanita dan bersyahwat besar??!!! Na’udzubillah!!
Pergunakanlah akal anda wahai kaum...
Pada tahun ke-5 H. Rasulullah
menikahi, Zainab binti Jahsy, setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah yang
diangkat anak oleh Rasulullah pada masa sebelum kenabian, dan dinikahkan dengan
kerabat Rasulullah Zainab yang tentu saja memiliki nasab tinggi di kalangan
Quraisy [dari pihak ibu Zainab adalah sepupuh nabi atau cucu Abdul Mutholib].
Pada masa itu masalah nasab
(keturunan) sangatlah diperhatikan oleh masyarakat Arab. Pencapaian
ketinggian derajat nasab seringkali diupayakan melalui perkawinan, maka tidak
heran jika satu orang bisa memiliki istri banyak, bukan sekedar karena mereka
suka, tapi para istri memiliki kepentingan sendiri dengan pernikahan tersebut,
termasuk untuk masalah nasab, apalagi bahwa penghormatan kepada wanita pada masa
itu amatlah rendah. Fenomena tersebut tldaklah aneh saat itu, karena bangsa lain
juga memiliki adat yang tidak jauh berbeda. Bahkan hingga saat ini masalah
keturunan sangat diperhatikan, terlepas dari pandangan yang melatar-belakangnya:
apakah karena status sosial, kekayaan, atau kebangsawanan; di kalangan muslim
sebagian memandang nasab berdasarkan kesalehan beragama.
Kembali pada masalah perkawinan Sayyidah Zainab radhiyallahu
‘anha, Rasulullah yang ingin merombak adat tersebut, demi tujuan pokok
menyamakan umat manusia di hadapan Allah (tauhid), mencoba mempertemukan antara
bangsawan dan mantan budak (walaupun sudah diangkat anak), rupanya hal itu belum
mampu meruntuhkan rasa kebangsawanan Zainab hingga perkawinan tersebut gagal.
Namun demikian tanggung jawab
Rasulullah menghendaki beliau untuk menikahinya. Lain dari pada itu bahwa
pernikahan tersebut atas perintah langsung dari Allah, sebab sebelumnya setiap
kali Zaid mengadu kepada Rasulullah atas sikap Zainab, Rasulullah menasehatinya
agar mempertahankan perkawinannya serta takut kepada Allah. Dengan begitu, tidak
hanya masalah tanggung jawab Rasulullah mengembalikan Zainab yang merasa
martabatnya telah terendahkan, namun menjadi panutan hukum bahwa anak angkat
tidaklah sama dengan anak kandung, maka istri yang telah diceraikannya boleh
dinikahi bapak angkatnya. Namun sebaliknya wanita yang diceraikan oleh seseorang
tidak boleh dikawini anaknya. [Irene Handono,
op.cit.]
Menurut Ibnu Ishaq, seorang dari sejarawan awal Muslim, Pada tahun ke 6
H. terjadi peperangan antara kaum Muslim dengan kaun Yahudi Bani Mushthaliq.
Akibat peperangan ini, sebagaimana hukum peperangan yang berlaku saat itu,
mereka yang kalah menjadi tawanan dan budak bagi pemenang. Diantara mereka yang
tertawan adalah Juwairiyah binti al-Harits, seorang putri dari al-Harits bin Abi
Dlorror pemimpin Bani Mushtholiq. Sebagai putri seorang terpandang Juwairiyah
tidak rela dirinya dijadikan budak, maka ia berniat menebus kepada Tsabit bin
Qois yang kebetulan saat pembagian harta rampasan mendapat dirinya. Karena tidak
memiliki harta lagi, maka ia pergi menghadap Rasulullah agar dibantu melunasi
tebusan tersebut. Rasulullah yang telah mengajarkan kepada para sahabatnya agar
mendidik budak dan kalau bisa memerdekakan dan menikahinya (lihat bahasan
tentang perbudakan), memberikan contoh dengan memerdekakan Juwairiyah dan
menawarkan pinangannya, ternyata Juwairiyah mengiyakan. Dengan persetujuan
Juwairiyah ini maka Rasulullah menikahinya, dan dengan pernikahan tersebut para
sahabat mengembalikan harta rampasan perang, sekaligus memerdekakan ± 100
keluarga. Ibnu Ishaq mengomentari: "Saya tidak pernah melihat keberkahan
seseorang atas kaumnya melebihi Juwairiyah". [Ibid]
Pada tahun ketujuh H, terjadi perang Khaibar. Pada saat penyerbuan ke
benteng al-Qomush milik bani Nadlir, pemimpin benteng ini yaitu Kinanah bin
Rabi' suami Shofiyah binti Hay terbunuh. Dan istrinya juga istri-istri bani
Nadlir yang lain menjadi tawanan. Dan seperti yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah terhadap bani Mushtholiq, maka Rasulullah menikahi Shofiyah. Menurut
keterangan Shofiyah sendiri, yang diceritakan oleh Ibnu Ishaq bahwa sebelum
kejadian ini ia telah bermimpi melihat bulan jatuh di kamarnya. Ketika mimpi
tersebut diceritakan kepada suaminya, ia malah mendapat tamparan dan dampratan,
"Itu berarti engkau menginginkan raja Hijaz Muhammad", kata suaminya. Tentang
apakah harta dikembalikan dan tawanan dibebaskan dengan perkawinan ini, tidak
kami dapatkan keterangan yang jelas, namun diceritakan bahwa mahar perkawinan
tersebut adalah pembebasan Shofiyyah. Walaupun masih muda, usia 17 th, tapi
sebelumnya Shofiyah telah menikah dua kali, dengan Salam bin Misykarn kemudian
dengan Kinanah bin Rabi'. [ibid].
Dari dua perkawinan di atas, dapat kita lihat bahwa upaya pembebasan
perbudakan -akibat peperangan- lebih menonjol ketimbang masalah lainnya. Di sisi
lain dua pernikahan ini semakin mengokohkan kedudukan Muslim dalam rangka
pembentukan komunitas bersama yang tidak saling bermusuhan. Selanjutnya, bahwa
melihat usia Shofiyah yang masih 17 th. dan sudah menikah dua kali, setidaknya
menunjukkan bahwa selain masyarakat Arab, komunitas Yahudi yang tinggal di
Khaibar juga memiliki adat mengawinkan seorang wanita sejak masih dini.
[ibid].
Pada tahun ketujuh Hijriah ini juga,
utusan Rasulullah ke Iskandariah-Mesir telah datang dengan membawa hadiah dua
orang budak dari Mesir, yang pertama bernama Maria binti Syam'un dan Sirin. Yang
pertama dinikahi oleh Rasulullah dan yang kedua diberikan kepada Hassan bin
Tsabit. Seperti yang telah kita bahas sebelum ini, bahwa Rasulullah yang
mengajarkan agar para budak dididik kemudian dibebaskan dan dinikahi,
dicontohkan sekali lagi oleh Rasulullah. Maria alQibthiah yang menjadi budak di
Iskandariah, kini menjadi istri seorang pemimpin besar di tanah Hijaz. Ia bahkan
telah memberikan keturunan yang diberi nama Rasulullah seperti nama kakeknya
"Ibrahim", walaupun tidak berusia panjang. Rasulullah menyatakan : "Ia telah
dimerdekakan oleh anaknya". [ibid].
Para istri nabi -termasuk yang sebelumnya menjadi budak-, mendapat
penghormatan yang tinggi dikalangan para sahabat dan umat Muslim, maka tidak
mengherankan jika banyak wanita yang ingin dinikahi oleh nabi. Salah satu dari
mereka adalah Maimunah yang dalam al-Qur'an disebut "Seorang wanita mu'min
yang menyerahkan dirinya kepada nabi". Penawaran itu dilakukan oleh Maimunah
melalui saudaranya Ummul Fadl, kemudian Ummul Fadl menyerahkan masalah ini
kepada suaminya yaitu Abbas bin Abdil Muththolib (paman nabi). Maka `Abbas
menikahkan Maimunah kepada Rasulullah dan memberikan mahar kepada Maimunah atas
nama Nabi sebesar 400 dirham. Pernikahan ini terjadi pada akhir tahun ke 7 H.
tepatnya pada bulan Dzul-Qo'dah. Selain Maimunah masih banyak wanita lain yang
ingin dinikahi oleh Nabi, tapi beliau menolak. Jika dilihat dari seluruh
pernikahan nabi seperti yang telah kita bahas, maka penolakan nabi tersebut
agaknya lebih dilandaskan pada sisi kemanfaatan dan kemaslahatan, baik bagi umat
maupun bagi wanita itu sendiri. Hal ini sekaligus menampik tuduhan bahwa
perkawinan Rasulullah dilandaskan pada kepentingan pemuasan seksual.
[ibid].
Fahamkah kaum penghujat tersebut
dengan sejarah Nabi ini?!! Ataukah mereka hanya mengandalkan subyektivitas yang
berangkat dari hasad, dengki dan kebodohan belaka?!! Fa’tabiru Ya Ulil
Albaab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar