Selamat Datang, Anda yang Terdahsyat Saat Ini! ^_^
Senin, 30 September 2013
Pengkhianatan Atas Islam di Indonesia
Pemerintah Belanda harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh
Islam. Hal ini dapat dicapai melalui kerjasama kebudayaan Indonesia Belanda. Ini
dapat dimulai dengan memperalat golongan priyayi yang selalu berdekatan dengan
pemerintah, karena kebanyakan menjabat sebagai PAMONG PRAIA. Untuk memperlancar
usaha tersebut dengan mendidik golongan priyayi dengan pendidikan barat (lihat.
J. Benda: The Crescent and the Rising Sun).
Pemerintah harus membantu
menghidupkan golongan pemangku adat. Karena mereka ini akan menentang Islam.
Pertentangan ini disebabkan lembaga adat dibentuk oleh tradisi lokal, sedangkan
Islam bersifat universal. Kondisi ini memudahkan pemerintah kerjasama dengan
Golongan Pemangku Adat.
Dalam menghadapi Perang Aceh, Snouck menasihatkan
supaya dijalankan Operasi Militer ke daerah pedalaman dan “menindak secara keras
para ulama-ulama yang berada di kampung-kampung serta jangan diberi kesempatan
para ulama menyusun kekuatannya dengan membentuk santrinya sebagai pasukan
sukarela”. Terhadap “orang Islam yang awam” pemerintah harus meyakinkan bahwa
“pemerintah melindungi agama Islam”. Usaha ini harus dijalankan dengan bantuan
dari kepala-kepala adat.
Pemerintah harus selalu memisahkan antara Islam
sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik. Makin jauh jarak kedua hal
tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam.” Alam pikiran Snouck
Hurgronje ini menghunjam dalam menjadi dasar bagi strategi melumpuhkan dan
memarginalkan kekuatan Islam yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik anti
Islam. Sikap ini terus menerus mereka lakukan sejak awal kemerdekaan (18 Agustus
1945) yakni dicoretnya 7 kata (syariat Islam dari UUD ’45) hingga reaksi keras
mereka menolak RUU Sisdiknas (2003) dengan tujuan menggusur pendidikan agama
dari sistem pendidikan nasional. Konsistensi sikap mereka ini mengalir sepanjang
sejarah dengan satu tujuan, menjegal aspirasi ummat Islam. Tulisan ini berusaha
menelusuri kembali sebagian dari hal tersebut.
Ketika para pendiri
Republik ini berhasil merumuskan satu gentlement agreement yang sangat luhur dan
disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta
(Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang
pertama.
Selanjutnya tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan
Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Hendaknya
disadari oleh setiap muslim bahwa Republik yang lahir itu adalah sebuah negara
yang “berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari ‘at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya.” Subhanallah, Allahu Akbar!
Namun keesokan harinya
tanggal 18 Agustus rangkaian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, itu dihapus, diganti dengan kalimat: yang maha
esa. Inilah awal malapetaka. Inilah awal pengkhianatan terhadap Islam dan ummat
Islam. Tentang hal ini berbagai peristiwa dan wacana terjadi mendahului sebelum
apa yang kemudian dikenal dengan “tujuh kata” itu dihapus. Terkait di dalamnya
antara lain tokoh-tokoh seperti Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Qahhar
Muzakkir, Kasman Singodimejo, Teuku Moh. Hasan, Soekarno. Meskipun usianya hanya
sehari, republik yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah Republik
yang berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Syariat Islam melekat dalam konstitusinya walaupun hanya
sehari! Hal ini tertanam di lubuk hati yang paling dalam bagi setiap aktivis
dakwah. Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan
bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau
menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh
pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman
terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD
sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk.
Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”
Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus
Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Hatta juga menjelaskan bahwa Yang
Maha Esa itu adalah tauhid. Maka tentramlah hati Ki Bagus. Dalam pandangan Ki
Bagus hanya Islam-lah agama tauhid. Dalam biografinya Teuku Moh. Hasan pun
menulis tentang makna Yang Maha Esa ini sebagai Tauhid.
Namun enam bulan
kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak
pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah
proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada
1957-1959 (hingga Dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagus Hadikusumo yang
diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.
Tentang
hilangnya tujuh kata ini Mr. Moh Roem mengutip ungkapan dalam bahasa Belanda:
Menangisi susu yang sudah tumpah !?
Sedang M. Natsir menulis: Tanggal 17
Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya
Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan
astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh
kata!”
Sesudah Proklamasi kita memasuki (1945-1950) masa kemerdekaan,
pasca revolusi, PDRI, penyerahan kedaulatan selanjutnya terbentuknya NKRI
melalui mosi integral Mohd. Natsir pada 1950. Selanjutnya kita menerapkan
demokrasi parlementer diselingi Pemilu I pada tahun 1955 di bawah Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), pemilu yang dinilai paling bersih dan
paling demokratis.
Sementara itu di luar Jawa di Aceh yang dijuluki
“daerah modal” merasa tidak memperoleh keadilan. Lebih dari itu merasa
dikhianati oleh Bung Karno Presiden Republik Indonesia.
Ketika Bung Karno
berkunjung ke Aceh di awal kemerdekaan bertemu dengan Tgk. Mohammad Daud
Beureueh. Kepada Abu Beureueh, Soekarno menyatakan komitmennya untuk menegakkan
Islam dan memberlakukan syariat Islam. Namun kenyataannya, Bung Karno
mengkhianati janjinya. Inilah penyebab utama pemberontakan rakyat Aceh yang
dipimpin oleh Tgk. Mohammad Daud Beureueh menelan waktu bertahun-tahun dan
menorehkan luka yang dalam di hati rakyat Aceh.
Dalam sidang
Konstituante (1957-1959). Baik dalam Panitia Persiapan Konstitusi maupun dalam
perdebatan tentang Dasar Negara kalangan Kristen dengan gigih menolak Islam
dijadikan dasar ideologi negara, didukung oleh kekuatan nasionalis, sekuler,
sosialis, Partai Komunis Indonesia dan lain-lain. Indonesia sesungguhnya
merupakan ajang pertarungan ideologi.
Dalam Sidang IV MPRS 1966. Golongan
Kristen dengan tegas menolak penafsiran Ketetapan No. XX/MPRS/1966 sebagai
ketetapan yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 itu
identik dengan Pembukaan, maka merupakan bagian dari UUD dan berkekuatan hukum.
Menurut mereka Piagam Jakarta hanya ditempatkan dalam konsiderans Dekrit 5 Juli
1959, bukan dalam diktum atau keputusan Dekrit itu. Jadi (menurut mereka) Piagam
Jakarta itu sama sekali tidak berkekuatan hukum.
Dalam Sidang Istimewa
MPRS 1967. Sebelum sidang dimulai ke dalam Badan Pekerja MPRS dimasukkan suatu
usul tertulis yang antara lain mengajukan agar kewajiban melakukan ibadat
diwajibkan bagi setiap pemeluk agama dan agama resmi adalah agama Islam.
Presiden dan Wakil Presiden harus beragama Islam. Usul ini dengan gigih ditolak
terutama oleh kalangan Kristen (Surat kabar Suluh Marhaen, 3 Maret
1967).
Dalam Sidang V MPRS 1968. Golongan Kristen dibantu oleh golongan
nasionalis atau non Muslim lainnya menolak rumusan Pembukaan dari Rancangan GBHN
yang berisi: “Isi tujuan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945 dituangkan dalam UUD 1945 yang terdiri dari batang tubuh dilandasi
oleh Pancasila serta dijiwai oleh Piagam Jakarta.” Mereka menolak rumusan
tersebut dengan beralasan bahwa kata “dijiwai” menimbulkan arti seolah-olah
Piagam Jakarta adalah jiwa sedangkan UUD 1945 itu tubuhnya. “Secara objektif
perkataan ‘menjiwai’ dalam Dekrit itu harus diartikan sebagian besar dari Piagam
Jakarta - kecuali tujuh kata - dimasukkan dalam Pembukaan yang diterima pada
tanggal 18-8-1945, dan Pembukaan itu adalah jiwa UUD 1945. Tidak ada jiwa yang
lain. Kalau dikatakan oleh sementara pihak, bahwa Piagam Jakarta ‘menjiwai’ UUD
dan bukan Pembukaan yang menjiwainya, itu dapat menimbulkan arti, bahwa justru
tujuh kata yang telah dicoret itulah yang ‘menjiwai’ UUD ’45. Jadi hal itu haras
ditolak.” Demikian antara lain alasan-alasan kalangan
Kristen/Katolik.
Sesudah kembali ke UUD ’45 melalui Dekrit 5 Juli ’59
Bung Karno menindaklanjuti dengan langkah-langkah politik; Membubarkan
Konstituante, membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menunjuk dirinya sendiri
sebagai formatur pembentukan kabinet. Lalu terbentuklah Kabinet Gotong Royong
dan melibatkan PKI dalam Kabinet. Kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR) disusul berbagai langkah politik yang repressif.
Berakhirlah peran DPR pilihan rakyat (Pemilu 1955) dan berakhir pula demokrasi
parlementer. Bung Karno berubah dari seorang demokrat menjadi diktatur.
Pancasila diperas menjadi Tri Sila, dari Tri Sila diperas menjadi Eka Sila:
Gotong Royong dan Poros Nasakom. Lalu digelorakanlah jargon: Nasakom jiwaku,
hancurkan kepala batu!
Terjadilah proses Nasakomisasi di seluruh bidang
di bawah Panji-panji Revolusi “yang belum selesai”. PKI mendapatkan ruang
bergerak yang sangat terbuka untuk memainkan peran menentukan di panggung
politik nasional. Situasi ini baru berakhir dengan terjadinya Peristiwa 30
September 1965 dengan segala akibat-akibatnya.
Jika di masa 1959-1965
Orde Lama Soekarno memaksakan Nasakom, Demokrasi Terpimpin, Paradigma Revolusi,
U.U. Subversi, dll, sebaliknya Soeharto meneruskan dengan kemasan baru:
Demokrasi Pancasila, P4, Asas Tunggal, PMP, Aliran Kepercayaan, memperkokoh
Dwifungsi ABRI (militerisasi di segala bidang kehidupan) plus U.U. Subversi,
selama 32 tahun pemerintahannya. Empat pilar Orde Baru : ABRI, Golkar, Birokrasi
(Korpri), Konglomerat, menopang pemerintahannya yang repressif. Pemilu yang
penuh rekayasa melanggengkan kekuasaannya.
Umat Islam dimarginalkan
melalui tahapan: de-ideologisasi (pemaksaan asas tunggal Pancasila);
de-politisasi (konsep massa mengambang/floating mass); sekularisasi (antara lain
berbagai kebijakan dan konsep RUU yang sangat mengabaikan agama); akhirnya
bermuara pada: de-Islamisasi.
Sosok Ali Murtopo, Sudjono Humardani, Bakin
pada 1970-an memainkan peran utama di panggung pertarungan politik nasional.
Bersaing dengan perwira-perwira tinggi lainnya Ali Murtopo menjadi “bintang” di
dukung oleh institusi strategis sebagai think-tank yakni CSIS yang pada masa itu
di dominasi oleh intelektual Katolik dari ordo Jesuit yang sangat anti
Islam.
Berbagai jebakan sebagai bagian dari skenario (operasi-operasi)
intelijen digelar untuk kemudiannya mereka yang dilibatkan dikorbankan. Komando
Jihad, Woyla, Cicendo, Lampung, Haur Koneng, Tanjung Priok dan lain-lain tidak
terlepas dari rekayasa intelijen. Beberapa tokoh ex D.I. (Darul Islam) Jawa
Barat dirangkul dan diberi berbagai fasilitas. Ada yang diberi pom bensin,
perkebunan teh, ada yang diangkat sebagai deputi kerohanian Bakin. Namun sesudah
itu satu persatu diringkus dijebloskan kedalam penjara dengan berbagai tuduhan.
Semua tuduhan itu fitnah. Kalangan intelijen mempunyai permanent issue antara
lain: ekstrim kanan. Untuk menunjukkan kebenaran adanya kelompok ekstrim kanan,
direkayasa berbagai peristiwa. Padahal semua itu bagaikan “hujan buatan”
(rekayasa intelijen).
Di akhir periode pemerintahannya ada indikasi
Soeharto ingin memperbaiki hubungan dengan ummat Islam dimulai dari berdirinya
ICMI pada 1990, U.U. Peradilan Agama, U.U. Sistem Pendidikan Nasional (1989),
Bank Muamalat dan kebijakan politik lainnya.
Namun prahara Krisis moneter
menjadi awal malapetaka, berkembang menjadi krisis ekonomi, menyusul krisis
politik dan berakhir dengan krisis kepemimpinan nasional. Akhirnya tekanan
dahsyat demonstrasi mahasiswa yang menginginkan reformasi menumbangkan
pemerintahan Soeharto sebagaimana tumbangnya pemerintahan Soekarno. Selanjutnya
berturut-turut tampil Habibie, Gus Dur dan Megawati.
Dari perjalanan
panjang bangsa ini mampukah kita mengambil hikmah dari sejarah? Menempatkan
Islam dan Ummat Islam dalam posisi yang bermartabat? Ataukah kita akan
terperosok di lubang yang sama berkali-kali? Wallahu a’lam.n
ABDUL GAFFAR ISMAIL :
Menempuh Jalan Uzlah
Catatan tentang Allahu yarham Abdul Gaffar Ismail ini disalin
sepenuhnya, tidak diubah ejaan maupun tulisannya, dari majalah tengah bulanan
Daulah Islamyah pada edisi Agustus 1957. Majalah ini dipimpin oleh KH. Isa
Anshary, sedangkan tulisan tentang KH. A. Gaffar Ismail ditulis oleh Tamar
Djaya, salah seorang karibnya. Redaksi majalah ini terbilang tokoh-tokoh
terkemuka Muslim Indonesia. A. Hassan masuk dalam jajaran redaktur, begitu juga
nama-nama lain seperti Moenawar Chalil, Rusjad Nurdin, Gaffar Ismail sendiri dan
juga Rahmah el Yunusiyah.
KH.ISA ANSHARI : Khutbah Perlawanan Menjelang
Ajal
Ia bergelar Singa Podium. Dijuluki demikian karena kefasihan
kemampuan berorasi mampu mengobarkan semangat setiap orang yang mendengarnya.
Pemuda yang bertubuh pendek, gemuk dengan bahu yang agak bungkuk ini lahir di
Maninjau, Sumatera Barat, 1 Juli 1916. Di usianya yang masih remaja, Isa Anshari
telah terjun ke dunia politik. Di kota kelahirannya itu ia sudah menjadi kader
PSII dan aktif sebagai mubaligh Muhammadiyah. Seperti halnya para pemuda
lainnya, Isa Anshari merantau ke pulau Jawa dan menetap di kota Bandung. Di kota
Kembang inilah ia bertemu dengan Soekarno.
Selain dikenal sebagai pemuda
yang taat beragama, aktivitas politiknya makin menggebu-gebu. Di usianya yang
muda, ia telah memimpin beberapa organisasi, yaitu Ketua Persatuan Muslimin
Indonesia Bandung, Pemimpin Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia Bandung,
Sekretaris Partai Islam Indonesia Bandung serta ikut mendirikan Muhammadiyah
cabang Bandung. Dalam pergerakan itu, ia bergabung dengan kelompok pemuda yang
disebut-sebut radikal, seperti M. Natsir. Aktivitasnya di Persis yang sempat
dipimpinnya beberapa periode seakan-akan semakin tersemai subur. Ia juga menjadi
anggota Indonesia Berparlemen, Sekretaris Umum Komite Pembela Islam dan pemimpin
redaksi majalah Daulah Islamyah.
Satu hal yang mencolok dari tokoh yang
pernah menjadi pembantu tetap Pelita Andalas dan Perbincangan ini adalah
sikapnya yang tegas. Ia sering dinilai tidak bersikap kompromistis. Tidak
mengherankan kalau Herbert Feith menyebutnya dengan figur politisi fundamentalis
yang memiliki keyakinan teguh.
Oleh karena itu, pada zaman Jepang, ia
telah mengomandoi gerakan Anti Fasis (Geraf), Biro Penerangan Pusat Tenaga
Rakyat (Putera) Priangan, memimpin Angkatan Muda Indonesia dan mengorganisasi
Majelis Islam yang membentuk kader-kader Islam.
KH. Isa Anshari adalah
salah satu pilar yang membangun Persis. Pada tahun 1935-1960 ia sempat menjadi
ketua umumnya. Selama memimpin Persis, perannya sangat menonjol. Ia selalu
memberikan arahan dan warna bagi organisasi itu. Pidatonya selalu bergelora
membuat pandangan yang mendengarkan selalu tertuju kepadanya. Bukan sekali dua
kali ia ditegur oleh aparat keamanan karena “garangnya” pidato yang ia
sampaikan.
Dalam hal tulis menulis analisisnya cukup tajam. Di antaranya
hasil karyanya adalah Bahaya Merah Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948),
Islam Menentang Komunisme (1956), Tuntunan Puasa (1940), Umat Islam Menghadapi
Pemilihan Umum (1953), dan lain-lain.
Dalam kancah politik, Masyumi
menjadi ladangnya. Bagi para ulama kritis , berpolitik merupakan bagian tuntutan
agama. Mereka selalu meneriakkan kebenaran walaupun pahit dirasakan. Bagi
mereka, berpolitik adalah alat untuk mencapai cita-cita umat Islam. Di bawah
bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya sebagai politisi. Tahun 1949,
ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslimin Indonesia.
Keterlibatan KH.
Isa Anshari dalam pentas politik membuat dia harus menghadapi risiko yang tidak
kecil. Ketika terjadi razia terhadap orang-orang yang diisukan ingin membunuh
presiden dan wakil presiden pada bulan Agustus 1951 oleh PM Sukiman
Wirdjosandjoyo, KH. Isa Anshari ditangkap. Namun beberapa saat kemudian ia
dilepaskan dan dinyatakan tidak bersalah.
Sepak terjangnya di bidang
politik sempat menyedot perhatian massa. Di mana ia memberikan pidato, pasti
dipenuhi massa yang ingin mendengarkan suaranya. Biasanya massa yang hadir bukan
hanya partisipan Masyumi, tapi juga masyarakat umum.
Pada masa Soekarno,
Masyumi menjadi salah satu lawan politik pemerintah yang terus digencet. Saat
tragedi Permesta meledak (1958), banyak tokoh-tokoh yang diciduk. Termasuk KH.
Isa Anshariyang saat itu berada di Madiun bersama Prawotomangkusasmito, M. Roem,
M. Yunan Nasution dan EZ. Muttaqien serta beberapa tokoh lainnya.
Pada
masa demokrasi parlementer, muncul beberapa konflik antar kelompok. Ada yang
menginginkan Indonesia berideologi sekuler-nasionalis dengan dasar negara
Pancasila. Di sisi lain ada yang menginginkan terbentuknya negara Islam, atau
paling tidak negara yang berideologikan hukum-hukum Islam. Di tubuh Masyumi,
cita-cita untuk membangun Negara Islam sangat subur. KH. Isa Anshari tetap
menjadi juru bicara yang ulet bagi Masyumi. Namun sayang, keinginan mereka untuk
mewujudkan Negara Islam gagal. Ketidakberhasilan ini disebabkan beberapa hal, di
antaranya munculnya polarisasi mengenai bentuk dan konsep negara Islam itu
sendiri.
Ada yang berpendapat bahwa aturan dan ajaran Islam harus
terwujud lebih dahulu yang nantinya dengan sendiri akan terbentuk negara Islam.
KH. Isa Anshari termasuk dalam kelompok ini. Di sisi lain ada yang berpendapat
bahwa negara Islam harus di bentuk dahulu, baru kemudian diberi corak dan warna
Islam. Di Luar itu, muncul kelompok yang lebih keras lagi. Maka meledaklah
peristiwa DII/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh serta gerakan Ibnu
Hajar di Kalimantan. Gerakan-gerakan itu dapat dipadamkan oleh
Soekarno.
Pada era berikutnya, KH. Isa Anshari terus berkecimpung dalam
membangun umat. Di usianya yang kian lanjut, ia lebih banyak mengkader generasi
muda. Ia tidak lagi menjadi pemimpin di organisasi yang membesarkannya, tapi
cukup sebagai penasehat. Begitulah contoh seorang pemimpin yang mengetahui
keadaannya. Kendati demikian ia tetap saja mendapat halangan. Ia sempat
dijebloskan ke dalam penjara oleh Soekarno. Dari balik terali besi ia masih
sempat mengirimkan tulisan-tulisan ke para sahabatnya.
KH. Isa Anshari
tidak mengenal lelah. Menjelang akhir akhir hayatnya ia tetap bekerja untuk
umatnya. Pada 11 Desember 1969 atau sehari setelah Hari Raya Idul Fitri 1369 H
ia meninggal dunia, di RS Muhammadiyah Bandung. Sehari sebelumnya ia menyatakan
bersedia memberikan khutbah Idul Fitri, namun takdir berkehendak lain. Naskah
khutbah itu sempat diketiknya dua halaman, dan tak sempat terbacakan
MOHAMMAD NATSIR : Kiai
Perdana Menteri
Negarawan Muslim, ulama intelektual, tokoh pembaruan dan
politikus kenamaan, itulah predikat yang bisa disematkan pada tokoh Muslim yang
satu ini. Lahir pada 17 Juli 1908, di Alahanpanjang, daerah subur di Sumatera
Barat yang kaya dengan aneka pergolakan pemikiran dan gagasan.
Ketika
baru berusia 8 tahun, Mohammad Natsir belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche
School) Adabiyah, Padang dan tinggal bersama makciknya. Kemudian Natsir,
dipindahkan o-rang tuanya ke HIS pemerintah di Solok dan tinggal di rumah Haji
Musa, seorang saudagar. Di sini ia menerima cukup banyak ilmu. Pada malam hari
ia belajar al-Qur’an, sedang paginya belajar di HIS. Tiga tahun kemudian ia
dipindahkan ke HIS dan tinggal bersama kakaknya, Rabi’ah.
Pada 1923, ia
meneruskan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat SMP sekarang)
di Padang. Di situ ia menjadi anggota JIB (Johg Islamieten Bond) Padang dan
bersentuhan langsung dengan gerakan perjuangan. Pada 1927, ia melanjutkan ke AMS
(Algemene Middelbare School/ setingkat SMA sekarang) di Bandung. Ketika di MULO
dan AMS itulah, la mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Selama di AMS, ia
sangat tertarik pada ilmu agama. Waktu luangnya digunakan untuk belajar agama di
Persatuan Islam (Persis) dengan bimbingan pendiri dan pemimpinnya, Ustadz A.
Hassan. Lulus AMS pada 1930. Prestasi yang diperolehnya memungkinkannya mendapat
beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Sejak di MULO, ia sudah
mulai mengenal semangat perjuangan. la masuk menjadi anggota kepanduan JIB. Ia
pernah menjabat ketua (1928-1932) di JIB cabang Bandung. Minatnya terhadap
politik, perhatiannya atas nasib bangsa dan tekadnya untuk meluruskan kesalah
pahaman umat akan ajaran agama, telah melibatkan dirinya dalam bidang politik
dan dakwah. Hal itu pula yang membuat Natsir muda menolak setiap tawaran
beasiswa dari pemerintah Belanda untuk meneruskan pendidikan Fakultas Hukum
Jakarta, Fakultas Ekonomi Rotterdam Belanda atau menjadi pegawai pemerintah.
Kegiatan politiknya terus berkembang setelah lebih jauh berkenalan dengan
tokoh-tokoh gerakan politik seperti H.Agus Salim dan yang lainnya.
Karena kejujurannya dalam perjuangan, pada masa kemerdekaan ia di
percaya menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Republik Indonesia.
Kejujuran itu pula yang mengundang seorang seorang Indonesianis, George Mcturnan
Kahin berkomentar untuk Natsir. “Dia (Natsir) tidak bakal berpakaian seperti
seorang menteri, namun demikian, dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh
kejujuran; jadi kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam
republik, Anda sudah seharusnya berbicara dengannya.”
Ya, Natsir tak
pernah berpenampilan seperti seorang menteri dalam pengertian modern. Ia selalu
tampil dalam balutan busana sederhana, lengkap dengan peci dan sorban putih yang
selalu ia lilitkan di lehernya.
Sejak 1932 sampai 1942, M. Natsir
diangkat sabagai direktur Pendidikan Islam di Bandung sebagai Kepala Biro
Pendidikan Kotamadya Bandung (Bandung Syiakusyo). Dari 1945 sampai 1946 sebagai
anggota badan pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan kemudian
menjadi wakil ketua badan ini. Pada 1946 (Kabinet Sjahrir ke-2 dan ke-3) dan
1949 (Kebinet Hatta-1) ia menjadi Menteri Penerangan Rl. Dari 1949 sampai 1958
ia diangkat menjadi ketua umum Masyumi. Dalam Pemilu 1956 ia terpilih menjadi
anggota DPR. Dari 1956 hingga 1958 ia menjadi anggota Konstituante
Rl.
Pada 1950-1951 tokoh kita ini mendapat amanah menjadi Perdana
Menteri. Hubungannya dengan Presiden Soekamo sempat merenggang selama
penyelesaian Irian Barat. Puncaknya terjadi tetelah peristiwa Cikini, November
1957. Waktu itu sebuah granat diledakkan untuk membunuh Soekarno, namun tidak
berhasil, dan menewaskan anak-anak sekolah, Meski Natsir tidak ada kaitan sama
sekali dengan rencana itu, Soekarno menuduhnya berada di belakang aksi tersebut.
Dalam situasi negara yang tidak menentu, Ketua Dewan Banteng Achmad Husein
mengultimatum pemerintah, Djuanda agar mengundurkan diri. Pemerintah justru
memecat Husein, Simbolon,dan beberapa perwira AD lainnya. Tak lama kemudian
Kolonel Acmad Husein mengumumkan berdirinya PRRI (Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia), dengan M. Natsir sebagai Perdana Menteri.
Setelah
peristiwa Cikini, Natsir memang tidak hanya diisolasi, tapi juga terus diganggu,
bersama koleganya yang lain, Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap.
Akhirnya mereka hengkang ke Sumatera Barat. Ketika operasi Angkatan Darat
terhadap PRRI pada 25 September 1961, Natsir ditangkap dan dipenjara, dengan
tuduhan ikut terlibat PRRI. Sejak 1962 sampai 1966 ia ditahan di Rumah Tahanan
Miter (RTM) Keagungan Jakarta.
Di awal rezim Orde Baru, Natsir
dibebaskan, tapi ia tetap dilarang berpolitik. Walau demikian, aktifitasnya
tidak terhenti, Natsir kemudian aktif pada organisasi Islam Internasional.
Seperti pada Kongres Muslim Sedunia (World Moslem Congress) pada 1967 yang
bermarkas di Karachi, sebagai wakil presiden. Pada 1969 ia menjadi anggota
Rabitah af-Alam al-lslami (World Moslem League) di Mekah. Pada 1976 ia masuk
anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A’la al-’Alami li al-Masajid) yang
bermarkas di Mekah. Sedangkan di Indonesia sejak 1967 sampai dengan masa tuanya,
ia dipercaya menjadi ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia).
BUYA HAMKA : Menolak
Takluk
Nama panjangnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
tapi ia lebih dikenal dengan HAMKA. Seorang ulama yang pernah dilahirkan oleh
bangsa Indonesia, yang berpengaruh hingga di kawasan Asia Tenggara. Hamka lahir
di Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908, Putra H. Abdul Karim Amrullah.
Seorang tokoh pelopor gerakan Islam “Kaum Muda” di daerahnya.
Hamka hanya
sempat masuk sekolah desa selama 3 tahun dan sekolah-sekolah agama di
Padangpanjang dan Parabek (dekat Bukittinggi) sekitar 3 tahun. Tapi ia berbakat
dalam bidang bahasa dan segera menguasai bahasa Arab; yang membuat ia mampu
membaca secara luas literatur Arab, termasuk terjemahan dari tulisan-tulisan
Barat. Sebagai putra tokoh pergerakan, sejak kecil Hamka menyaksikan dan
mendengar langsung pembicaraan tentang pembaruan dan gerakannya melalui ayah dan
rekan-rekan ayahnya.
Hamka dikenal sebagai seorang petualang. Ayahnya
bahkan menyebutnya “Si Bujang Jauh”. Pada 1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke
Jawa untuk mempelajari seluk-beluk gerakan Islam modern dari H. Oemar Said
Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), RM.
Soerjopranoto (1871-1959), dan KH. Fakhfuddin (ayah KH. Abdur Rozzaq
Fakhruddin). Kursus-kursus pergerakan itu diadakan di Gedung Abdi Dharmo,
Pakualaman, Yogyakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke
Pekalongan dan menemui kakak ipamya, AR. Sutan Mansur, yang waktu itu menjadi
ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di kota ini ia berkenalan dengan
tokoh-tokoh ulama setempat.
Pada bulan Juli 1925, ia kembali ke rumah ayahnya
di Gatangan, Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi
Muhammadiyah.
Pada Februari 1927, Hamka berangkat ke Makkah untuk
menunaikan ibadah haji dan bermukim lebih kurang 6 bulan. Selama di Makkah, ia
bekerja di sebuah percetakan. Pada bulan Juli, Hamka kembali ke tanah air dengan
tujuan Medan. Di Medan ia menjadi guru agama pada sebuah perkebunan selama
beberapa bulan. Pada akhir 1927, ia kembali ke kampung halamannya.
Pada
1928, Hamka menjadi peserta Muktamar Muhammadiyah di Solo, dan sejak itu hampir
tidak pernah absen dalam Muktamar Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Sepulang
dari Solo, ia mulai memangku beberapa jabatan, mulai dari ketua bagian Taman
Pustaka, ketua Tabligh, sampai menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Padangpanjang.
Pada 1930, ia diutus oleh Pengurus Cabang Padangpanjang untuk mendirikan
Muhammadiyah di Bengkalis. Pada 1931, ia diutus oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah
ke Ujungpandang untuk menjadi mubaligh Muhammadiyah dalam rangka menggerakkan
semangat menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-21 (Mei 1932) di Ujungpandang.
Hamka pindah ke Jakarta pada tahun 1950, dan memulai karirnya sebagai
pegawai negeri golongan F di Kementerian Agama yang dipimpin KH. Abdul Wahid
Hasyim.
Tahun 1950 itu juga HAMKA mengadakan lawatan ke beberapa negara
Arab sesudah menunnaikan ibadah haji untuk kedua kalinya. Sepulang dari lawatan
ini ia mengarang apa buku roman, yaitu Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah
Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajah. Sebelumnya Hamka menulis Di Bawah Naungan
Ka’bah (1938), Tenggelamrrya Kapal van der Wljk (1939), Merantau ke Deli (1940),
Di Dalam Lembah Kehidupan (1940), dan biografi orang tuanya berjudul Ayahku
(1949).
Ia pernah mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari
Universitas Al-Azhar, Kairo. Tentang pengaruhnya, Tun Abdul Razak, Perdana
Menteri Malaysia berkata, “ Hamka bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga
kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.”
Dalam bidang politik, Hamka
menjadi anggota konstituante hasil pemilu pertama 1955. la dicalonkan oleh
Muhammadiyah untuk mewakili daerah pemilihan Masyumi di JawaTengah. Muhammadiyah
waktu itu adalah anggota istimewa Masyumi. Dalam sidang konstituante di Bandung,
ia menyampaikan pidato penolakan gagasan Soekarno untuk menerapkan Demokrasi
Terpimpin.
Setelah Konstituante dibubarkan pada bulan Juli 1959 dan
Masyumi dibubarkan setahun kemudian. Hamka pun memusatkan kegiatannya dalam
dakwah. Sebelum Masyumi di bubarkan, ia mendirikan majalah tengah bulanan
bernama Panji Masyarakat yang menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan
pengetahuan agama Islam. Majalah ini kemudian dibreidel pada 17 Agustus 1960
dengan alasan memuat karangan Dr. Muhammad Hatta berjudul Demokrasi Kita yang
mengritik konsepsi Demokrasi Terpimpin. Majalah ini baru terbit kembali setelah
Orde Lama tumbang, pada 1967, dan HAMKA menjadi pemlmpin umumnya hingga akhir
hayatnya.
Sebelumnya, pada tanggal 27 Januari 1964, ulama dengan jasa
yang besar pada negara ini ditangkap negaranya sendiri. Ia dijebloskan ke dalam
penjara selama Orde Lama. Dalam tahan ini pula ia melahirkan karyanya yang
monumental, yakni tafsir Al Azhar.
Hamka pernah menjabat sebagai Ketua
Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1975. Pada masanya pula, MUI pernah
mengeluarkan fatwa yang luar biasa, melarang perayaan Natal bersama. MUI didesak
untuk mencabut kembali fatwa tersebut, namun Hamka menolakya. Ia lebih memilih
mengundurkan diri dari jabatannya ketimbang harus mengorbankan akidah. Allah SWT
memanggilnya pada 24 Juli 1981. Ulama pejuang yang istiqomah ini dimakamkan di
Tanah Kusir, diiringi doa segenap umat Islam yang mencintainya.n
saya AHMAD SANI posisi sekarang di malaysia bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa setiap gajian selalu mengirimkan orang tua sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang sempat saya putus asah dan secara kebetulan saya buka FB ada seseorng berkomentar tentang AKI NAWE katanya perna di bantu melalui jalan togel saya coba2 menghubungi karna di malaysia ada pemasangan jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun saya minta angka sama AKI NAWE angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100% terima kasih banyak AKI kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259 tak ada salahnya anda coba karna prediksi AKI tidak perna meleset saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan
saya AHMAD SANI posisi sekarang di malaysia bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa setiap gajian selalu mengirimkan orang tua sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang sempat saya putus asah dan secara kebetulan saya buka FB ada seseorng berkomentar tentang AKI NAWE katanya perna di bantu melalui jalan togel saya coba2 menghubungi karna di malaysia ada pemasangan jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun saya minta angka sama AKI NAWE angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100% terima kasih banyak AKI kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259 tak ada salahnya anda coba karna prediksi AKI tidak perna meleset saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan
saya AHMAD SANI posisi sekarang di malaysia
BalasHapusbekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan
saya AHMAD SANI posisi sekarang di malaysia
bekerja sebagai BURU BANGUNAN gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259
tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan