Senin, 30 September 2013

Penelitian yang Kritis Terhadap Perjanjian Lama (1/2)



IV. SIKAP PENGARANG PENGARANG KRISTEN

TERHADAP KESALAHAN ILMIAH DARI TEKS BIBEL (1/2)



PENELITIAN MEREKA YANG KRITIS



Kita merasa heran karena reaksi yang berbeda-beda yang

ditunjukkan oleh ahli tafsir Kristen terhtadap kumpulan

kesalahan-kesalahan, kekeliruan dan kontradiksi ini. Di

antara mereka ada yang mengakui sebagian

kesalahan-kesalahan tersebut dan tidak segan-segan

membicarakan soal-soal yang rumit itu dalam

karangan-karangan mereka. Ada golongan lain yang secara

lihai menghindari hal-hal yang tak dapat dipertahankan,

tetap mempertahankan kemurnian Bibel kata demi kata

serta berusaha meyakinkan orang lain dengan

keterangan-keterangan yang bersifat apologetik dengan

memakai argumentasi yang tak terduga, dan dengan begitu

mengharap orang lain akan melupakan soal-soal yang

ditolak oleh logika.



R. P. de Vaux, dalam pengantar terjemahan Kitab

Kejadian mengakui adanya kritik-kritik dan mengakui

pula kebenaran kritik-kritik tersebut, akan tetapi,

baginya, tidaklah penting untuk mengadakan penyusunan

baru terhadap kejadian-kejadian pada masa yang lampau.

Ia menulis dalam catatan-catatannya: bahwa Bibel

menyebutkan kenangan sesuatu atau beberapa banjir yang

dahsyat di lembah Tigris atau Euphrate, yaitu

banjir-banjir yang dibesar-besarkan dalam tradisi

sehingga menjadi suatu bencana dunia, adalah tidak

penting; yang penting adalah bahwa pengarang Kitab

Kejadian telah mengisi kenangan itu dengan ajaran abadi

mengenai keadilan dalam rahmat Tuhan, serta kejahatan

manusia, dan keselamatan bagi orang yang benar.



Dengan begitu maka untuk merubah suatu legenda rakyat

menjadi suatu kejadian suci yang perlu diyakini oleh

umat beragama, adalah suatu tindakan yang dapat

dibenarkan selama pengarang memakainya untuk contoh

dalam pelajaran agama. Sikap apologetik semacam itu

akan membenarkan segala macam penyalahgunaan

tulisan-tulisan yang dianggap suci dan mengandung sabda

Tuhan. Membenarkan campur tangan manusia dalam hal-hal

yang suci berarti menutupi segala perubahan-perubahan

yang dilakukan oleh manusia terhadap teks Bibel. Jika

terdapat suatu maksud teologik maka segala perubahan

dibolehkan, dan dengan begitu maka orang membenarkan

perubahan-perubahan yang dilakukan oleh

pengarang-pengarang Sakerdotal (pendeta-pendeta) pada

abad VI serta kesibukan-kesibukan legalistis yang

akhirnya menghasilkan riwayat-riwayat khayalan yang

sudah kita lihat.



Ada kelompok yang tidak kecil daripada ahli-ahli tafsir

Kristen yang merasa bangga untuk menerangkan

kekeliruan, kesalahan dan kontradiksi yang terdapat

dalam Bibel dengan mengemukakan alasan bahwa para

pengarang Bibel terpengaruh oleh faktor-faktor sosial

daripada peradaban atau mental yang berbeda dengan

peradaban dan mental sekarang; ini berarti bahwa

persoalan kekeliruan dan kontradiksi tersebut berakhir

dan menjelma menjadi suatu jenis yang khusus daripada

kesusasteraan. Penggunaan istilah "suatu jenis yang

khusus daripada kesusasteraan" ini dalam perdebatan

yang rumit di antara para ahli tafsir Bibel telah dapat

menutupi segala kesulitan. Tiap kontradiksi antara dua

teks dapat dijelaskan dengan: perbedaan cara ekspresi

daripada tiap pengarang, khususnya perbedaan gaya

sastranya. Sudah tentu argumentasi seperti ini tidak

dapat diterima oleh semua orang, karena argumentasi

tersebut tidak serius. Tetapi argumentasi tersebut

masih ada orang yang memakainya sekarang, dan dalam

membicarakan Perjanjian Baru, kita akan melihat

orang-orang menafsirkan kontradiksi yang ada didalamnya

dengan cara yang berlebihan.



Suatu cara lain untuk memaksakan hal-hal yang tak dapat

diterima oleh logika dalam teks Bibel adalah dengan

mengelilingi teks tersebut dengan

pertimbangan-pertimbangan apologetik. Dengan begitu

maka perhatian pembaca dialihkan dari problema crucial

mengenai kebenaran kepada problema-problema lain.



Pemikiran-pemikiran Kardinal Danielou mengenai Banjir

yang dimuat dalam majalah Dieu Vivant (Tuhan yang

hidup), nomor 38 tahun 1947 halaman 95-112 dengan judul

"Banjir Pembaptisan dan Hukuman," menunjukkan cara

tersebut. Ia menulis: "Tradisi yang paling kuno

daripada Gereja telah terlihat dalam Teologi Banjir,

gambar Yesus Kristus dan gambar Gereja. Ini adalah

hikayat yang besar sekali artinya. Hukuman yang

mengenai seluruh umat manusia." Setelah mengutip

Origene yang dalam karangan: "Ceramah tentang

Yehezkiel," membicarakan tentang tenggelamnya seluruh

Dunia dan diselamatkannya dalam Perahu, Kardinal

Danielou tersebut membicarakan tentang pentingnya angka

delapan (yang menunjukkan jumlah orang yang

diselamatkan oleh Perahu; Nuh dan isterinya serta tiga

orang anaknya dan isteri-isteri mereka). Ia mengulangi

yang ditulis oleh Yusten dalam Dialognya "mereka itu

memberikan simbol hari ke delapan, hari Yesus Kristus

dibangkitkan dari mati" dan ia menulis: "Nuh, yang

dilahirkan pertama daripada penciptaan baru, suatu

citra Yesus Kristus yang merealisir apa yang

digambarkan oleh Nuh." Ia meneruskan perbandingan

antara Nuh yang diselamatkan oleh kayunya perahu dan

oleh air yang mengapungkannya, dan air pembaptisan (air

Banjir yang melahirkan kemanusiaan baru) dan kayu

salib. Kardinal menekankan nilai simbolisme dan menutup

uraiannya dengan menekankan kekayaan spiritual dan

doktrinal daripada sakramen Banjir!



Banyak sekali yang dapat dikatakan mengenai

pendekatan-pendekatan apologetik. Pendekatan semacam

itu menerangkan suatu kejadian yang tak dapat

dipertahankan kebenarannya, dan pada waktu yang

diterangkan oleh Bibel, dengan penjelasan yang bersifat

universal. Dengan tafsiran seperti yang ditulis oleh

Kardinal Danielou kita kembali ke abad pertengahan di

mana kita harus menerima teks apa adanya dan segala

pembicaraan mengenainya terlarang kecuali pembicaraan

yang menguatkan.



Meskipun begitu, saya merasa segar bahwa sebelum

periode obscurantisme yang dipaksakan ini, kita baca

sikap-sikap yang logik seperti sikap Agustinus yang

menunjukkan pemikiran yang maju, lebih dahulu daripada

pemikiran yang ada pada masa hidupnya.



Pada periode pendeta-pendeta Gereja, problema kritik

teks sudah terasa oleh karena Agustinus menyebutkannya

dalam suratnya no. 82, yaitu yang mengandung

kalimat-kalimat penting sebagai berikut: "Khusus kepada

fasal-fasal dari Bibel, yang dinamakan kanonik (yang

telah dilegalisir oleh Paus) saya memberi perhatian dan

kehormatan, dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa tak

seorangpun daripada para pengarang-pengarangnya yang

melakukan kekeliruan dalam menulisnya. Jika dalam

fasal-fasal itu saya jumpai suatu pernyataan yang

kelihatan bertentangan dengan kebenaran, maka saya

tidak ragu untuk mengatakan bahwa: teks (yang saya

baca) itu salah, atau si penterjemah tidak

menterjemahkan teks asli sebaik-baiknya, atau pikiran

saya kurang cerdas.



Bagi Agustinus, tak terbayang bahwa suatu teks kitab

suci dapat mengandung kesalahan. Agustinus memberi

penjelasan tentang "dogma bahwa Bibel tidak bisa salah"

secara terang dan jelas. Jika ada kalimat-kalimat yang

nampaknya kontradiksi dengan kebenaran, ia mencari

sebabnya, dan tidak mengenyampingkan kemungkinan sebab

itu datang dari manusia. Sikap semacam itu adalah sikap

orang yang percaya dan mempunyai daya kritik. Pada

zaman Agustinus ( 354 - 430 M ) belum ada kemungkinan

konfrontasi antara teks Bibel dan Sains. Suatu

pandangan yang luas yang serupa dengan pandangan

Agustinus akan menghilangkan kesulitan-kesulitan yang

disebabkan konfrontasi antara beberapa teks dalam Bibel

dengan pengetahuan ilmiah.

(bersambung 2/2)






--------------------------------------------------------------------------------

BIBEL, QUR-AN, dan Sains Modern

Dr. Maurice Bucaille



Judul Asli: La Bible Le Coran Et La Science

Alih bahasa: Prof. Dr. H.M. Rasyidi

Penerbit Bulan Bintang, 1979

Kramat Kwitang I/8 Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar