Selamat Datang, Anda yang Terdahsyat Saat Ini! ^_^
Senin, 30 September 2013
Jejak Emas Para Ulama : Rahim yang Melahirkan TNI
Surat di atas dikirim Soekarno kepada A. Hassan tertanggal 14
Desember 1936, dari Endeh. Soekarno bisa jadi benar. Tapi bisa jadi pula, ia
salah besar. Sebab, menurut banyak catatan, ulama-ulama Indonesia, bahkan
generasi awal-awal dakwah di Indonesia, punya keilmuan yang tinggi dan kemampuan
menulis yang luar biasa. Namun ada proses lain, yakni deislamisasi yang
dilakukan oleh para penjajah, baik Portugis, Inggris, dan juga
Belanda.
Menurut Abdullah bin Abdul Kadir al Munsyi dalam hikayatnya
tentang Kerajaan Malaka yang ditulis pada abad ke-13 hijriah, ada aksi
pemberangusan yang dilakukan oleh Belanda. Dalam hikayat tersebut dijelaskan,
Belanda mengumpulkan buku-buku dan hikayat yang dihasilkan oleh komunitas Muslim
dari berbagai wilayah Melayu. Daerah-daerah mulai dari Riau, Langka, Pahang
Trengganu dan Kelantan dijarah kekayaan intelektualnya. Tak kurang dari 70 jilid
hikayat dan karya para ulama dirampas penjajah. Entah berapa banyak lagi yang
telah dirampas dari wilayah Sumatera, Jawa dan juga dari kepulauan Maluku.
Abdullah Munsyi juga menyebutkan, Stamford Raffles setidaknya turut
mengumpulkan 300 judul hikayat yang ditulis oleh para ulama zaman itu. Penjajah
dari Spanyol dan Portugis bahkan jelas-jelas telah membakar karya-karya klasik
para intelektual Islam. Pembakaran tersebut menurut Munsyi dilakukan atas
perintah Kardinal Gemenis.
Tentang pernyataannya itu, Soekarno sebenarnya
perlu dikoreksi. Ulama-ulama awal Nusantara, adalah orang-orang yang luar biasa.
Mereka mempunyai kemampuan dan jaringan yang menakjubkan untuk zaman itu. Salah
satu bukti yang menyatakan bahwa ulama silam punya kemampuan yang maksimal dalam
penulisan sejarah ditunjukkan oleh tiga serangkai ulama yang cukup terkenal di
masanya. Mereka adalah Nuruddin Ar Raniry, Al Singkili dan Al Maqasari yang
hidup dan berkiprah pada abad-17. Nuruddin Ar Raniry, yang kini namanya
diabadikan sebagai nama IAIN di Nanggroe Aceh Darussalam menulis dengan luar
biasa sejarah perkembangan Islam Nusantara dalam risalah kuno berjudul Bustan as
Salathin.
Dalam Bustan as Salathin bisa ditemui kisah-kisah “sedjarah”
yang dimaksud Soekarno. Ar Raniry menuliskan tentang hubungan diplomatik antara
kerajaan Islam di Aceh dengan Khalifah Utsmani di Turki. Ar Raniry mengisahkan,
pada tahun 1562 di bulan Juni, seorang duta dari Aceh terlihat berada di
Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi serangan Portugis
di Nusantara. Duta ini, menurut Ar Raniry, adalah sebagian kecil dari duta yang
dikirim. Di tengah perjalanan, mereka diserang oleh Portugis di tengah Samudera.
Isi kapal yang penuh dengan barang berharga seperti emas, permata dan
rempah-rempah dijarah oleh Portugis. Sedianya, barang-barang tersebut adalah
persembahan untuk Khalifah Utsmani.
Sepulang dari Istanbul, dikabarkan,
sang duta membawa pula bantuan militer yang akhirnya membantu Aceh mengusir
Portugis. Duta itu pula yang membawa izin, bahwa kapal-kapal Aceh boleh
mengibarkan bendera Turki di perairan sebagai jaminan keselamatan.
Selain
menulis Bustan as Salathin, Ar Raniry juga menulis karya-karya lain yang
monumental. Ada pula Ash Shirathal Mustaqim yang juga kitab fiqh. Ar Raniry
menulis tidak kurang dari 29 karya terdiri dari ilmu kalam, fiqh, hadits,
sejarah bahkan sampai ilmu perbandingan agama, yang memang tampak menjadi minat
terbesari Ar Raniry.
Al Singkili bahkan pernah menulis karya berjudul
Mir’at at Thullab yang membahas masalah-masalah fiqh dan hukum. Di dalam karya
ini dibahas tentang syarat-syarat dan aturan menjadi hakim dan penegakan hukum
Islam. Al Singkili juga menulis tentang fiqh muamalat dan menulis tafsir al
Qur’an dengan judul Tarjuman al Mustafid yang terbit untuk pertama kali justru
di Timur Tengah dan bukan di Indonesia.
Sedangkan Al Maqasari yang
mempunyai nama lengkah Syekh Yusuf al Maqasari punya kiprah tak kalah luar
biasa. Ia pernah berkeliling ke banyak tempat di Nusantara, termasuk singgah di
daerah Banten dan menetap di rumah sesepuh Ustadz Abu Ridha atau Abdi Sumaithi
yang kini duduk sebagai salah satu anggota Majelis Pertimbangan Partai Keadilan
Sejahtera. Di Banten, Al Maqasari mengajarkan agama lalu melanjutkan perjalanan
ke Timur Tengah, sebelum mengakhiri usia di Cape Town,
Afrika.
Ulama-ulama seperti Ar Raniry, Al Singkili dan Al Maqasari adalah
para ulama awal Nusantara yang membawa pembaruan dan mengajarkan syariat Islam
di mana saja mereka berada.
Hubungan diplomatik yang terbangun,
sebenarnya adalah bentuk hubungan yang lebih muda dibanding hubungan sebelumnya.
Sebelum hubungan ini terbentuk, ada hubungan awal yang lebih menentukan, yakni
pengiriman dan pertukaran ulama-ulama. Ulama-ulama Timur Tengah dikirim ke
Indonesia untuk memberikan dakwah, dan ulama-ulama Indonesia berangkat ke
Makkah, Madinah dan beberapa kota ilmu lain untuk memperluas dan memperdalam
ilmu agama.
Meski hubungan ini sudah terjadi sejak lama, namun pada
generasi setelah Ar Raniry, jaringan ulama Indonesia dan Timur Tengah menemui
puncaknya. Beberapa ulama yang sangat terkenal pada generasi ini di antaranya
adalah, Syekh Abdus Shamad al Falimbani dari Palembang, Syekh Muhammad Arsyad al
Banjari dari Kalimantan, Syekh Rahman al Batawi dari Betawi, dan Syekh Dawud al
Fatani dari Patani, Thailand Selatan.
Beberapa ulama yang disebutkan di
atas mempunyai jaringan yang kuat. Mereka pernah belajar pada saat yang
bersamaan di beberapa kota di Timur Tengah, terutama Makkah dan Madinah.
Ulama-ulama ini mempelajari banyak ilmu, mulai dari akidah, akhlak, fiqh,
sejarah Islam, matematika hingga ilmu falakh atau astronomi.
Terbetik
kisah, suatu ketika, Al Palimbani, Al Banjari, Al Batawi dan Al Bugisi
dikabarkan meminta izin pada guru mereka di Makkah, Athallah al Mashri, untuk
menimba ilmu ke negeri Nabi Musa, Mesir. Namun sang guru memberi nasihat lain.
Mengejar ilmu memang sangatlah penting, tapi mengajarkan ilmu adalah hal yang
juga tak bisa ditinggalkan. Lalu sang guru, Athallah al Mashri, meminta mereka
untuk kembali ke tanah air dan mengajarkan Islam serta berdakwah di tempat
masing-masing.
Namun mereka tetap berkunjung ke Kairo. Tidak untuk
belajar memang, hanya berziarah ke negeri dengan peradaban tinggi ini. Setelah
ziarah ke Kairo, kecuali Al Falimbani, ulama-ulama lain pulang kembali ke tanah
air dan melanjutkan dakwah di tempat masing-masing.
Sebelum mereka menuju
perjalanan masing-masing, Arsyad al Banjari dan Wahab al Bugisi sempat singgah
di Betawi untuk mengantarkan Rahman al Batawi pada tahun 1773 masehi atau 1186
hijriah. Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara
menuturkan, dalam persinggahan tersebut, Al Banjari yang memang ahli dalam
bidang astronomi dan matematika sempat meluruskan arah kiblat masjid-masjid yang
terletak di dua daerah, Pekojan dan Jembatan Lima.
Setelah itu, para
ulama ini berkiprah di daerah masing-masing. Kiprah paling menonjol tercatat
dijalani oleh Muhammad Arsyad al Banjari yang langsung menduduki mufti Kerajaan
Banjar saat sampai di wilayahnya. Sekembalinya Muhammad Arsyad ke Martapura, ia
mendirikan pusat pendidikan Islam semacam pesantren di Jawa atau di Kalimantan.
Lewat peran Muhammad Arsyad pula, Kesultanan Banjar mendirikan pengadilam hukum
Islam yang pertama di Kalimantan. Muhammad Arsyad berusaha keras menerapkan dan
menegakkan hukum dan syariat Islam di wilayahnya. Hal lain yang sangat luar
biasa adalah, pada zaman itu, Muhammad Arsyad telah membicarakan penerapan zakat
sebagai ganti peraturan pajak yang ditetapkan oleh Sultan
Banjar.
Kisah-kisah di atas, hanya sebagian kecil saja dari ribuan kisah
lain tentang peran ulama Indonesia. Sungguh, Muslim Indonesia mempunyai sejarah
yang sangat dahsyat dan luar biasa.
Kita juga punya dasar dan pijakan
yang sangat kuat untuk mengusung kembali pusaka yang telah hilang. Pusaka itu,
tak lain dan tak bukan adalah hukum dan syariat Islam. Pondasi telah dibangun,
tapi untuk beberapa lama kita lalai menjaga. Maka kini saatnya untuk memulai
lagi dan membangun masa depan yang cerah, agar kerja para ulama terdahulu tak
sia-sia. (Oleh Herry Nurdi/Sabili)
Bakat dan jiwa perjuangannya mulai terlihat sejak dari
kepanduan Hizbul Wathon ini, juga peningkatan kemampuan fisik dan penggemblengan
mental. Bakat kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah. Bahkan
semangatnya berjihad telah mengantarkan Soedirman menjadi orang nomor satu dalam
sejarah militer Indonesia.
Sebagai kader Muhammdiyah, Panglima Soedirman
dikenal sebagai santri atau jamaah yang cukup aktif dalam pengajian “malam
selasa”, yakni pengajian yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Kauman
berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Seorang Panglima yang istimewa,
dengan kekuatan iman dan keislaman yang melekat kuat dalam dadanya. Sangat
meneladani kehidupan Rasulullah, yang mengajarkan kesederhaan dan kebersahajaan.
Sehingga perlakuan khusus dari jamaah pengajian yang rutin diikutinya, dianggap
terlalu berlebihan dan ditolaknya dengan halus.
Seorang jenderal yang
shalih, senantiasa memanfaatkan momentum perjuangan dalam rangka menegakkan
kemerdekaan sebagai bagian dari wujud pelaksanaan jihad fi sabilillah. Dan ini
ia tanamkan kepada para anak buahnya, bahwa mereka yang gugur dalam perang ini
tidaklah mati sia-sia, melainkan gugur sebagai syuhada. Untuk menyebarluaskan
semangat perjuangan jihad tersebut, baik di kalangan tentara atau pun seluruh
rakyat Indonesia, Jenderal besar ini menyebarkan pamflet atau selebaran yang
berisikan seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan
Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insjafilah! Barangsiapa mati,
padahal (sewaktoe hidoepnja) beloem pernah toeroet berperang (membela keadilan)
bahkan hatinya berhasrat perang poen tidak, maka matilah ia diatas tjabang
kemoenafekan.”
Perang gerilya yang dilakukan, tak luput dari mencontoh
apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sewaktu berada di desa Karangnongko,
setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame, Panglima Besar Soedirman yang
memiliki naluri seorang pejuang, menganggap desa tersebut tidak aman bagi
keselamatan pasukannya. Maka beliau pun mengambil keputusan untuk meninggalkan
desa dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah besarta
para sahabatnya saat akan berhijrah. Setelah shalat subuh, Pak Dirman yang
memiliki nama samaran Pak De dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel
yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa
anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya
Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam
berjalan menuju arah selatan, sampai pada sebuah rumah barulah mantel tersebut
dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul
Soedirman. Dan sore harinya pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya
memborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam, dan
ini membuktikan betapa seorang Panglima sekaligus dai ini begitu menguasai
taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam.
Sebuah perjuangan yang penuh
dengan kateladanan, baik untuk menjadi pelajaran dan contoh bagi kita semua,
anak bangsa. Perjalanan panjang seorang dai pejuang yang tidak lagi memikirkan
tentang dirinya melainkan berbuat dan berkata hanya untuk rakyat serta bangsa
tercinta. Penyakit TBC yang diderita, tidak menyurutkan langkah perjuangannya.
Sampai akhir usianya, 38 tahun, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang dicintai
rakyat menutup hidupnya tanggal 29 Januari 1950, tepat hari Ahad. Bangsa ini
mencatat satu lagi pejuang umat, yang lahir dari umat dan selalu berjalan
seiring untuk kepentingan umat.
Sebagai pejuang yang lahir dari kepanduan, ia telah dibekali
pemahaman serta pengajaran agama yang matang. Bung Tomo, memegang teguh prinsip
bahwa sebagai seorang pandu dan pejuang bangsa dirinya harus suci dalam
perkataan atau pun perbuatan. Bekal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam
setiap pergerakan perjuangannya, sehingga pekikan Allahu Akbar yang selalu
terdengar dalam menyemangati perlawanan pemuda dan rakyat memiliki kekuatan
sangat besar dan tak tertandingi.
Kalimat Allahu Akbar, serta semboyan
merdeka atau mati syahid, merupakan semboyan yang sangat akrab diteriakkan
melalui corong radio. Saat itu hanya ada dua orang besar yang mampu mengobarkan
semangat perlawanan melalui pidato-pidato perjuangan, Bung Tomo dan
Soekarno.
Kisah-kisah perjuangan yang sangat menarik banyak lahir dalam
setiap kali terjadi aksi pertempuran, dan ini bukti dari pertolongan Allah
kepada para tentaranya yang rela mengorbankan jiwa dan hartanya demi menegakkan
nilai-nilai kebenaran. Sebagaimana yang dialami Bung Tomo dalam satu perang
gerilya, bersama pasukannya saat sudah tak bisa lagi berbuat apa-apa karena
pesawat Belanda ketika itu telah mengepung dari atas dan tak ada lagi tempat
berlindung. Namun atas kebesaran dan kekuasaan Allah, gumpalan awan menutupi
Bung Tomo beserta pasukannya yang berada dalam sasaran tembak pesawat-peswat
tempur Belanda.
Inilah yang semakin mengokohkan jiwa perlawanan Bung
Tomo. Semangat jihadnya terus meningkat, dan ia tanamkan kepada teman-teman
seperjuangannya. Termasuk saat terjadi perisitwa 10 November 1945, Bung Tomo
adalah penggerak perlawanan rakyat yang didukung oleh ulama-ulama Surabaya kala
itu. Untuk itulah sebagai seorang pejuang besar yang bergerak bersama dengan
pekikan Allah Akbar, Bung Tomo menjadi orang yang paling diinginkan Belanda.
Bagi yang dapat menangkap atau pun membunuh Bung Tomo, Belanda menjanjikan
hadiah besar.
Perjuangan kala itu benar-benar membutuhkan pengorbanan
yang besar, dan salah satunya adalah pengorbanan jiwa dengan tulus. Di antara
tahun 1945-1949, sebagai bentuk lain perjuangan, Bung Tomo membentuk pasukan
berani mati, yakni pasukan bom syahid yang siap mengorbankan jiwanya untuk
menghancurkan tentara sekutu dan Belanda yang ingin kembali menancapkan kukunya
di bumi pertiwi. Suasana revolusi saat itu, benar-benar melahirkan banyak
jiwa-jiwa patriot. Sehingga Bung Tomo pun sangat terharu ketika seorang pemuda
dengan perawakan lusuh dan datang jauh dari Surabaya, sekadar ingin bergabung
menjadi pasukan bom syahid yang siap meledakkan dirinya ke arah tank-tank
penjajah.
Pasukan bom syahid yang dibentuk oleh Bung Tomo, adalah
pasukan terlatih dan benar-benar ditempa keimanannya. Termasuk pemuda yang telah
mengesankan Bung Tomo, ia menjadi bom syahid pertama yang menubrukkan dirinya ke
tank Belanda. Dan bersama dengan hancurnya tank tersebut, bersamaan itu pula
lahir satu syuhada yang menjadi bunga bangsa dan teladan bagi siapa pun yang
mengaku sebagai pejuang bangsa dan agama.
Sebagai seorang pejuang yang
berjuang bersama buruh, petani, tukang becak dan rakyat jelata lain, Bung Tomo
tetap mempertahankan kehidupan bersahaja, dan tak pernah mau menerima dalam
bentuk apa pun fasilitas dari pemerintah setelah revolusi kemerdekaan usai. Bung
Tomo tetaplah pejuang yang memikirkan rakyatnya, memikirkan bangsanya.
Pengabdian terhadap bangsa dan negara tetap ia teruskan, semua demi satu tujuan
dan keyakinan bahwa surga akan menanti di hadapannya.
Tanggal 16
Okotober tahun 1981, setelah melaksanakan wukuf di Arafah dalam rangkaian ibadah
haji, Bung Tomo yang dilahirkan sebagai pejuang bangsa menutup usianya di tempat
suci dan pada hari yang dimuliakan oleh Allah (Oleh Fadli Rachman)
Rahim Yang
Melahirkan TNI
Oleh :
Let-Jen.TNI(Pur)Z.A.Maulani
Perang Asia Timur Raya Dai Toa no Senso-
pecah diawali dengan serangan armada laut dan udara Kekaisaran Je-pang ke Pearl
Harbor pada tanggal 7 Desember 1941. Jepang terpancing oleh provokasi presiden
Franklin Roosevelt yang mengeluarkan perintah untuk melakukan embargo atas
seluruh perdagangan antara Amerika Serikat dengan Jepang terhitung mulai bulan
Oktober 1941. Sejarah kemudian mencatat perintah embargo itu tidak lain dalam
rangka memancing kemarahan Jepang. Serangan terhadap pangkalan angkatan laut
terbesar di Pasifik tersebut ditujukan untuk menghancurkan armada Amerika
Serikat yang ditugasi untuk melakukan blokade terhadap pasokan minyak bumi dari
Asia Tenggara ke Jepang, terutama dari ladang-ladang minyak milik Teikoku oil
Company di Kalimantan Timur (JM. Robert, “History of the World’, Oxford
University Press, New York, 1992). Dalam tempo kurang dari satu jam “Pacific
Fleet’ Amerika itu luluh lantak jadi puing. Dengan serangan itu pula “Dai Toa no
Senso” dimulai. Armada kekaisaran bergerak dengan sangat cepat. Pada 216
Desember 1941 sebuah flotila telah berada di lepas pantai Miri, kota
pertambangan minyak di negeri Sarawak. Bala tentara Kekaisaran Jepang mendarat
di Kalimantan nyaris tanpa perlawanan. Setelah menyerang Davao di Filipina pada
tanggal 12 Desember 1941, dua minggu kemudian pada tanggal 26 Desember 1941
Davao jatuh, dan panglima tentara Amerika di Filipina jenderal McArthur berhasil
meloloskan diri melalui Corrigedor ke Australia, dengan kata-kata bersayapnya,
“I will Return.”
Dari Filipina pasukan depan balatentara Jepang
menyeberang ke Tarakan dan Balikpapan, dan merebut kedua kota minyak yang jatuh
pada 24 Januari 1942. Dari Balikpapan dengan mengikuti jalan setapak pasukan
depan balatentara Jepang dengan menggunakan sepeda bergerak dengan cepat ke arah
selatan menuju tambang minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) di Murung
Pundak, Kalimantan Selatan. Melalui jalan setapak Muara Uya, yang dijadikan
sebagai pangkalan bagi pesawat pembom tempur mereka ke Jawa, serta melindungi
kapal-kapal perang mereka yang mulai menguasai Laut Jawa. Dengan demikian
hubungan antara Kalimantan dengan pulau-pulau lainnya terputus total. Panglima
tentara KNIL, Jenderal Ter Poorten, meski demikian tetap sesumbar, “Beter
staande stierven dan knielen leven.”(lebih baik mati berdiri daripada hidup
dengan bertekuk lutut). Pertempuran Laut Jawa yang legendaris dan berlangsung
selama sebulan itu menutup nasib Hindia Belanda.
Pada 27 Februari 1942,
seluruh kekuatan laut Belanda yang tersisa dihabisi oleh Jepang di bawah komando
Laksamana Kurita. Sisa armada Sekutu yang selamat, kapal perang HMAS Perth dari
angkatan laut Australia dan USS Houston milik Amerika Serikat, melarikan diri ke
Australia. Dalam pertempuran laut itu panglima angkatan laut Belanda Laksamana
Karel Dorman tewas.
Sebulan sesudah hancurnya armada Sekutu dalam
Pertempuran Laut Jawa, pada 8 Maret 1942, di Bandung, pemerintah Hindia Belanda
menyerah tanpa syarat kepada Jenderal Imamura, panglima Ryuku-gun ke-16.
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenburg-Stachouwer menjadi tawanan perang di
Cimahi.
Ryuku-gun ke-16 -Pemerintahan Militer di
Jawa
Sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh Tokyo untuk para
panglima di wilayah-wilayah pendudukan, Senryo Tochi Yoko (Garis-garis
Besar Kebijakan untuk Wilayah Pendudukan), memuat direktif umum tentang
politik pendudukan guna mendukung kemenangan perang. Berdasarkan dokumen
tersebut Komando Ryuku-gun ke-16 di Jawa di bawah Jenderal Imamura, mengeluarkan
sebuah kebijakan operasional yang berjudul “Saran-saran mengenai Status Masa
Depan Pulau Jawa”. Isi dokumen tersebut antara lain, bahwa “...perlu merebut
hati penduduk (Jawa) untuk lebih mampu mengembangkan sumber-sumber daya (untuk
mendukung perang)”. Dari isinya tampaknya dokumen ini disusun oleh staf dari
badan intelijen militer Jepang ’Sambobu Tokebetsu-har’ yang lebih dikenal dengan
nama sandi mereka Beppan. Badan Intelijen ini sangat bersimpati dengan bangsa
Indonesia, mengingat keberadaan mereka di Hindia Belanda sudah jauh sebelum
perang meletus. Merekalah kemudian yang dikenal sangat membantu kaum nasionalis
Indonesia, seperti LetnanYanagawa, Letnan Tsuchiya, Letnan Yomamura, serta
seorang Muslim Jepang Abdul Hamid Nobuharu Ono.
Mengingat jumlah
penduduknya yang sangat besar, markas besar Ryuku-gun ke-16 menyimpulkan
dukungan rakyat Jawa itu hanya akan dapat terwujud bila ada “kepastian tentang
kemerdekaan” bagi wilayah Jawa dan Sumatera. Untuk kepentingan pengerahan
dukungan masyarakat Ryuku-gen ke-16 di Jawa membentuk berbagai organisasi
masyarakat, seperti Gerakan Tiga ”A”, Jawa Hoko-ka (Badan Kebaktian Rakjat
Jawa). Poetera (Poesat Tenaga Rakjat), MIAI (Madjelisul Islam ‘Ala Indonesia)
yang kemudian berubah menjadi Masjumi (Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia).
Pendek kata untuk memenangkan usaha perangnya Jepang melakukan politisasi yang
sangat intensif terhadap rakyat di Jawa dan Sumatera (Salim Said, Genesis of
Power, 1942).
Terbentukya
PETA
Tewasnya Laksamana Isoroku Yamamoto di atas pulau
Bougainville dan kalahnya secara telak Armada Kekaisaran ke-1 dalam pertempuran
merebut pulau Guadalcanal yang berlangsung sengit selama enam bulan, dari
Agustus 1942 sampai Februari 1943, bukan saja menghentikan kemajuan mesin perang
Jepang dan pasifik, tetapi juga membuat situasi perang berbalik (Ahmad Mansur
Suryanegara, ‘Pemberontakan Tentara PETA’, Yayasan Wira Patria Mandiri, Jakarta,
1996).
Situasi baru yang tiada menguntungkan Jepang membuat Komando
Ryuku-gun ke-16 makin bulat tekad melibatkan rakyat di Jawa untuk mendukung
usaha perangnya. Untuk itu dengan menggunakan sepuluh orang nama ulama terkemuka
di koran Asia Raja, terbitan 13 September 1943, diberitakan adanya “tuntutan”
para alim-ulama tersebut agar pemerintahan Ryuku-gun ke-16, “segera membentuk
tentara sukarela, bukan wajib militer, melainkan tentara yang akan membela pulau
Jawa”. Para ulama itu adalah KH. Mas Mansoer, Tuan Guru H. Mansoer, Tuan Guru H,
Jacob, H.Moh. Sadri, KH. Adnan, Tuan Guru H. Cholid, KH. Djoenaedi, Dr.H. Karim
Amroellah, H. Abdoel Madjid, dan U. Mochtar. Mereka inilah bapak-bapak pendiri
PETA.
Terpilihnya tokoh-tokoh di atas, didasarkan pada analisis Beppan.
Badan intelijen militer Jepang menyimpulkan, untuk memperoleh dukungan maksimum
dari rakyat Jawa, maka “tentara” yang akan dibentuk itu harus didukung penuh
oleh potensi umat Islam di bawah pimpinan para ulamanya. Berdasarkan usulan
Beppan itulah untuk jabatan komandan batalyon (dai dancho) direkrut dari
kalangan ulama, untuk jabatan komandan kompi dan pleton (chodan-cho dan
shudan-cho), direkrut dari pemuda berlatar belakang anak-anak ambtenaren
(priyayi dan eks-pegawai guberneroen), sedang untuk para bintara (budan-cho)
diambil dari pemuda Muslim bahkan panji-panji tentara Peta (daidan-ko) harus
terlihat berjiwa Islam, yaitu bulan-bintang putih di atas dasar merah. Dalam
struktur tentara Peta ada dua pertimbangan, yaitu kepentingan militer dan
kepentingan politik, hal itu terlihat pada kebijakan rekrutmen personalianya.
Para komandan batalyon (daidan-cho), dipilih dari kalangan alim ulama. Latihan
yang diberikan sangat dasar, hanya taktik kecil (minor tactics) dan tidak
diberikan pengajaran tentang administrasi dan logistik, karena Jepang
mengkhawatirkan sekiranya pengetahuan itu diberikan akan memberikan kemampuan
kepada satuan-satuan Peta untuk melakukan peperangan secara berlanjut sekiranya
mereka sewaktu-waktu berontak terhadap Jepang. Sementara itu bagi para komandan
bawahan, khususnya budan-cho dan hei-tai (prajurit) diberikan latihan militer
secara spartan oleh para instruktur orang Jepang (sido-kan) menjadi militer
profesional. Dari sini tampak para daidan-cho diharapkan menjadi simbol
partisipasi politik umat Islam dalam ketentaraan Peta.
Umat Islam
menyambut dengan gairah pembentukan Peta yang dikehendaki dengan harapan dapat
menjadi instrumen batu loncatan menuju kemerdekaan penuh Indonesia. Setelah itu
barulah dilakukan pelatihan pertama untuk membentuk para pelatih di Seimen Dojo
Cimahi, Januari 1943. Selanjutnya pelatihan untuk korps perwira di Rensei-tai
Cimahi dan Magelang Juli 1943, dan setelah itu peresmian terbentuknya Tentara
Sukarela Pembela Tanah Air (Bo-ei Gyugun Kanbu Rensei-tai) disingkat PETA, di
Bogor 3 Oktober 1943.
Terbentuknya
TNI
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta atas nama
bangsa Indonesia memproklamirkan lahirnya Republik Indonesia. Karena
pertimbangan politik bahwa republik yang baru lahir ini cinta damai dan bukan
bentukan negara fasis Jepang, pemerintah tidak menghendaki kesan itu ada pada
Sekutu yang mulai masuk ke Indonesia untuk melucuti senjata tentara Jepang.
Untuk itu pemerintah tidak menghendaki adanya badan kemiliteran dalam negara
Republik Indonesia yang dapat menimbulkan kecurigaan yang tidak
diinginkan.
Tetapi perkembangan yang terjadi memperlihatkan bahwa sekutu
bukan saja melucuti senjata Jepang tapi juga berdasarkan perjanjian London 1945
antara Inggris dan Belanda, Sekutu diberi pula tugas memulihkan kedaulatan
Hindia Belanda di Indonesia. Dengan membonceng tentara Inggris, NICA
(Netherland Indies Civil Administration) masuk sebagai lembaga persiapan
untuk menegakkan kembali kedaulatan Belanda. Bentrokan senjata antara NICA, dan
kadang-kadang dengan tentara Inggris yang melindungi mereka dengan lasykar
rakyat tidak terhindarkan. Pertempuran paling sengit terjadi di Surabaya pada
tanggal 10 November 1945 yang dikenang sebagai Hari Pahlawan dan Bandung
Lautan Api.
Akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1945, dua bulan
setelah negara dan pemerintahan Republik Indonesia terbentuk, pemerintah
menyetujui untuk meresmikan lasykar rakyat menjadi BKR (barisan
keamanan rakyat). Banyak yang tidak menyadari bahwa pada tanggal 4
september 1945 Soekarno telah mengumumkan susunan kabinetnya yang pertama. Namun
dalam susunan tersebut tidak mencantumkan adanya portofolio menteri pertahanan.
Jadi, BKR dari namanya saja tidak diniatkan sebagai pasukan militer, tetapi
hanya badan keamanan atau kepolisian yang tugasnya hanya membantu pasukan Sekutu
memelihara ketertiban serta mengumpulkan tawanan Jepang dan orang-orang Eropa
bekas tawanan untuk diserahkan kepada Sekutu.
BKR terdiri dari berbagai
unsur perlawanan rakyat, pimpinannya sebagian berasal dari PETA yang
didukung oleh 60 batalyon senapan, kemudian unsur perwira-perwira KNIL
sebelum perang seperti Oerip Soemohardjo, Didi Kartasasmita,
AH. Nasution, TB. Simatupang, Kawilarang dan lain-lain yang
tidak membawa anak buah. Selebihnya adalah para pasukan Heiho, semacam
hansip buatan Jepang. Sebulan sesudah itu, pada tanggal 11 November 1945 di
Purwokerto atas prakarsa yang dipimpin oleh Oerip Soemohardjo, diadakan
konferensi pertama para komandan BKR untuk membahas: pertama menghadapi
kekacauan dan anarchie, kedua, atas usul dari Holland Iskandar, seorang
mantan perwira Peta, untuk memilih seorang panglima besar BKR. Ada tiga panglima
besar yang diajukan untuk memimpin BKR. Pertama Kolonel Soedirman dari
kalangan santri dan seorang mantan guru Muhammadiyah di Cilacap. Kedua Oerip
Soemohardjo yang merepresentasikan perwira-perwira KNIL. Ketiga Moeljadi
Djojomartono dari unsur lasykar rakyat dari Barisan Banteng Surakarta. Lalu
terpilihlah Kolonel Soedirman menjadi Panglima Besar BKR, kemudian TKR, terakhir
TNI.
BKR sampai dengan TNI di masa perang kemerdekaan pada umumnya
dipimpin oleh para panglima dan komandan dari Peta berlatar belakang ulama dan
santri. Panglima Besar Soedirman misalnya, disebut oleh anak buahnya dengan
panggilan kesayangan Kajine (Pak Haji). Ini merupakan satu penghormatan untuk
beliau meski Pak Dirman sendiri belum haji.
Di Jawa Timur Komandan
resimen BKR adalah KH. Hasyim Asy’ari, komandan batalyonnya KH. Yusuf
Hasyim atau Pak Ud. Di Jawa Tengah komandan resimennya Kasman
Singodimedjo. Di Jawa Barat komandan resimennya seorang ulama yang berjuluk
Singa Bekasi, KH. Noor Ali. Hampir tidak ada komandan resimen yang tidak
bergelar “Kyayi Hadji” saat itu.
Setelah persetujuan Roem van
Royen disepakati, diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda untuk
membicarakan masa depan Indonesia. Konferensi tersebut pada tanggal 27 Desember
1949 menyepakati kemerdekaan, kecuali Irian Barat. Menyusul penyerahan
kedaulatan tersebut, TB Simatupang yang menjabat sebagai kepala staf angkatan
perang menyatakan,
“...kami sangat menyadari dampak dari perang gerilya. Dari pengetahuan
kami, negara-negara yang merdekanya dari perang gerilya biasanya akan menghadapi
kehidupan politik yang tidak akan stabil. Oleh karena itu, kami tiba pada
kesimpulan, karena kami harus mendukung suatu pemerintahan sipil, dimana kami
mendapatkan kesempatan untuk melakukan reorganisasi terhadap ketentaraan dan
memberikan pelatihan kepada anggota sesegera mungkin sehingga jumlahnya dapat
dikurangi. Dengan melaksanakan gagasan tersebut kami berharap tentara (yang
lebih profesional itu) tidak akan menjadi sumber masalah lagi bagi
pemerintah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar