Senin, 30 September 2013

Ketika Masjid dan Jilbab Diharamkan

“Kenapa hari ini tidak ada shalat Jum’at?” Tulisan bernada masygul itu ditoreh dengan tinta hitam dalam huruf besar. Ditulis di atas secarik kertas folio. Sepuluh sentimeter dari kertas itu dua orang yang tertidur bersebelahan dengan sebuah tas besar terbuat dari bahan kain tebal warna tua.

Mereka melepas lelah di sebuah bangunan kecil dan bersih yang sepi. Empat kipas angin merek National yang menempel di pojok ruangan berhenti berputar. Dua karpet merah terlihat digulung di samping bangku-bangku panjang yang ditumpuk berderet di samping kiri. Nampak lebih luas dari biasanya.

Entah siapa si penulis pesan itu. Yang jelas, pertanyaan serupa memang datang silih-berganti di kalangan masyarakat sekitar masjid itu sejak dua bulan lalu. Maklum, dua minggu setelah hari raya Idul Fitri, semua aktivitas ibadah di masjid itu dilarang oleh Kepala Desa Peliatan. Shalat lima waktu maupun shalat Jum’at dilarang.

Inilah untuk pertama kalinya sejak berdiri delapan tahun lalu, tepatnya 1995, Masjid Ubudiyah, begitu namanya, sudah biasa digunakan beribadah. Apalagi Masjid ini satu-satunya tempat ibadah ummat Islam di Ubud, Gianyar, Bali.

Kepala Desa Peliatan, Ir I Made Budiasa, dalam suratnya nomor 300/216/ XI/Pem, tertanggal 12 November 2001 menyebutkan, kegiatan di masjid Ubudiyah dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Apalagi, kata Made, Masjid itu tidak punya ijin. Lalu Made mengutip SK Gubernur Bali tentang tata cara pendirian tempat ibadah. Dalam SK itu ditentukan, boleh mendirikan tempat ibadah bila di lingkungan itu ada ummatnya minimal 40 Kepala Keluarga (KK).

“Saya dengar di situ (di lingkungan Masjid Ubudiyah) 20 KK Muslim saja tidak ada,” kata Made ketika dihubungi Suara Hidayatullah lewat telepon. “Apalagi masyarakat setempat (non-Muslim) juga menolak kehadiran Masjid itu,” tambahnya.

Ketika disampaikan bahwa Masjid itu menjadi kebutuhan ummat Islam di Ubud, Made mengatakan “Saya tidak mau tahu, yang penting ada ijinnya.” Made menegaskan, ia tidak melarang agama, “Semua agama itu baik,” katanya.

Sudah tentu banyak orang merasa kehilangan dengan ditutupnya Ubudiyah. “Habis, tadi tidak ada shalat jum’at. Jadinya selesai shalat dzuhur langsung tidur,” kata Sholikhin (29 tahun) pedagang kerajinan lukisan kulit asal Lombok pada Suara Hidayatullah usai bangun tidur. “Habis mau shalat Jum’at di mana?,” aku pria yang masih lajang ini.

Seperti halnya Sholikhin, jama’ah lain juga mengaku kehilangan. Ayyub (28) misalnya, terpaksa harus pergi ke Denpasar untuk menunaikan shalat Jum’at. “Sejak bulan lalu saya harus jauh ke sana. Padahal tadinya kan dekat,” ujar lelaki asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang memiliki toko kain di pasar Ubud ini. Asal tahu saja, jarak antara Ubud dan Denpasar sekitar 45 kilometer.

Untungnya, Ayyub memiliki semangat tinggi, sehingga dengan ringan hati ia menempuh perjalanan jauh demi menunaikan kewajibannya sebagai ummat Islam. Bagi sebagian yang lain, terutama yang tidak memiliki kendaraan pribadi, mereka memilih mengalah terhadap keadaan. “Ya sekarang libur shalat Jum’atnya. Habis bagaimana?” ujar Gunawan (28), salesman asal Rungkut Surabaya yang biasa menjajakan produknya di wilayah Ubud.

Para anggota pengurus masjid Ubudiyah sendiri menolak memberikan penjelasan tentang ihwal penutupan Masjidnya itu. “Kalau soal itu kami tidak berani,” ujar Arifin, salah seseorang pengurus kepada Suara Hidayatullah. “Untuk sementara jangan dulu Pak, nunggu akhir bulan saja,” kata Rudi, salah seorang pengurus Yayasan masjid ketika dimintai keterangan.

Wiharja (61), pemilik tanah Masjid itu hanya menjawab pendek saat ditemui di rumahnya “Saya hanya bisa berdo’a tiap hari agar (masjid ini) segera bisa ditempati lagi,” ujarnya lantas buru-buru meneruskan pekerjaannya seolah tidak peduli kedatangan Suara Hidayatullah.

Lokasi Masjid Ubudiyah sendiri tidak mudah dicari. Tempatnya di balik gedung-gedung besar tempat penjual kerajinan tangan dan rumah-rumah kos di Jalan Tjokorda Phipudak, Ubud. Satu-satunya tanda adalah tulisan kecil berwarna biru berbunyi “Menuju Yayasan Ubudiyah” disertai tanda arah. Tulisan itu tertempel di tembok salah satu toko. Mengikuti arah itu orang akan melewati lorong sepanjang 50 m yang lebarnya tak lebih dari 1,5 m. Di situlah berdiri bangunan berukuran 10 x 12 meter.

Walau sering disebut gedung serba guna, bangunan itu lebih mencerminkan masjid. Namun apapun bentuknya, tempat itu berfungsi sebagai masjid, karena tiap hari digunakan shalat, termasuk shalat tarawih pada bulan Ramadhan. Jama’ahnya cukup ramai. “Kalau shalat sehari-hari sih jama’ahnya sekitar 50 orang, tapi kalau Jum’at atau tarawih bisa 300 orang,” kata Arifin. Sore harinya juga digunakan ngaji anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Syukurnya, aktivitas TPA itu hingga kini masih berlangsung.

MUI Bali, seperti dikatakan Ketuanya H Hasan Ali, sedang berusaha melakukan pendekatan kepada pihak-pihak terkait, agar Masjid Ubudiyah bisa digunakan lagi. Kalau dikatakan ummat Islam di lingkungan Ubud tidak ada 40 KK mungkin saja benar. Namun kenyataannya jama’ah Masjid itu lebih dari 40, bahkan ratusan.

Artinya, wajar kalau ummat Islam dibolehkan mendirikan masjid di sana. “Saya minta pengertian saudara-saudara ummat Hindu di Ubud, karena keberadaan masjid itu vital bagi ummat Islam, apalagi itu satu-satunya tempat ibadah di sana,” katanya.

Menurut penelusuran Suara Hidayatullah, Ubudiyah bukan satu-satunya masjid yang dilarang. Ada sebuah mushala yang mengalami nasib serupa. Mushala itu ada di G X jalan Gunung Batukaru, Denpasar, milik H Fauzi, seorang tokoh Jama’ah Tabligh. Namun Fauzi terkesan menutup-nutupi. “Kejadian itu sudah lama, tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Dan lagi saya sudah dapat ganti yang lebih bagus,” katanya.

Menurut salah satu sumber di sekitar mushala, pada awal terjadinya bom di Kuta, mushala itu sempat dilempari batu oleh orang-orang tak dikenal. Mungkin karena mushala itu kerap kedatangan jama’ah berjubah dan berjenggot, termasuk jama’ah dari luar negeri. Takut memicu konflik lebih luas, aparat akhirnya meminta Fauzi menutup mushalanya. “Saya tidak masalah, wong itu juga mushala darurat,” ujar Fauzi. Tak jauh dari mushala itu ada sebuah masjid besar. Di situlah sekarang Fauzi menjadi imam rawatib.

Dari sejumlah 37 masjid dan mushalla di seluruh Kabupaten Gianyar, dan Denpasar, Bali, memang baru dua yang tertimpa nasib penutupan dan penghentian aktivitas. Namun jika dasar dan landasannya lemah, pelarangan serupa bisa saja difotokopi di tempat lain.

Pelarangan jilbab
Bukan hanya pelarangan masjid dan mushalla yang terjadi, menutup aurat dengan mengenakan jilbab pun menjadi sorotan. Kasus itu menimpa salah satu siswi SLTP Negeri I dan mahasiswi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Unud), Denpasar.

Siswi itu bernama Rezki Permatawati (13), siswa kelas 1. Bermula Desember 2002, setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan sebulan penuh, Rezki bertekad berjilbab untuk menutup auratnya. Sejak saat itu, baik di rumah maupun di sekolah siswi yang selalu berada dalam ranking 10 besar itu konsisten berjilbab. Kedua orang tuanya tentu saja gembira, karena itu berarti putri sulungnya taat menjalankan perintah Allah.

Tetapi kegembiraan itu tak lama. Pasalnya, di sekolah Rezki mulai menuai hambatan. Setiap hari ada saja gurunya yang memintanya menanggalkan jilbabnya. Alasannya, jilbab dianggap melanggar tata tertib sekolah, khususnya tentang seragam sekolah. “Tata tertib itu telah disepakati siswa dan Komite Sekolah,” kata Ketut Killa, Kepala Sekolah SLTPN 1 Denpasar.

Namun Rezki yang bercita-cita jadi dokter itu menolak permintaan gurunya itu, sebab ia merasa benar: menjalankan kewajiban agama yang dijamin undang-undang. Ia tetap berjilbab, baik di kelas maupun ketika istirahat. Akhirnya orang tua Rezki dipanggil ke sekolah. Saat itu, Ketut Killa, sekali lagi menegaskan, dilarang berjilbab selama jam pelajaran.

Ary B Soemardi, ayah Rezki menanyakan dasar hukum pelarang itu. Dijawab Killa, itu sesuai hasil rapat guru dan aturan seragam sekolah di SLTPN I. Tak puas dengan jawaban itu, Ary mencoba membandingkan dengan sekolah umum lainnya, misalnya di SMUN 3 Kuta, Bali. Di sini jilbab dibolehkan. Kenapa di SLTPN I dilarang? Toh Killa tak bergeming. Katanya, pelarangan jilbab sejalan dengan otonomi daerah di bidang pendidikan yang sekarang berlaku.

Kasus serupa memang pernah terjadi di SMUN 3 Kuta, sebelum tragedi bom Bali. Saat itu, salah seorang siswinya, Ina Apriastin Arok, dilarang kepala sekolahnya mengenakan jilbab. Keputusan itu kemudian mengundang protes berbagai kalangan, antara lain KH Amidhan, Ketua MUI dan Prof. Said Agil Husin Al Munawar, Menteri Agama.

Amidhan mengatakan, “Pelarangan itu jelas-jelas melanggar HAM. Karena mengenakan jilbab, merupakan suatu keyakinan beragama, bukan sekedar mode. Jadi, pelarangan itu tidak benar.”
Menteri Said Agil menambahkan, sekolah tidak boleh melarang siswanya berjilbab, yang nota bene adalah menjalankan ajaran agamanya sendiri. “Hal itu (memakai jilbab) harus dihormati. Dunia pendidikan tidak bisa begitu,” katanya.

Setelah menuai berbagai protes, akhirnya Kepala Sekolah SMU 3 Kuta mencabut larangannya. Kepala Sekolah SLTP 1 Denpasar, ternyata dia tidak bisa mengambil pelajaran terhadap kasus sejawatnya itu. Ary Soenardi sendiri sudah mengadukan kasus yang menimpa putrinya itu ke pihak Kanwil Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Bali. Namun hingga kini pengaduannya itu belum memperoleh jawaban.

Karena merasa dirugikan, Ary berniat membawa kasus ini ke meja hijau. “Karena hak anak saya untuk melaksanakan kewajiban agama dan memperoleh pendidikan di sekolah yang diinginkan telah dirampas oleh segelitir orang, yaitu aparat SLTP 1 Denpasar,” kata Ary yang juga seorang pengacara.

Kasus menimpa gadis belia itu tentu saja mengundang reaksi ummat Islam. Ketua MUI Bali, KH Hasan Ali, misalnya, memprihatinkan kasus ini. “Mestinya pihak sekolah bangga, karena telah berhasil membina salah satu siswinya, sehingga tidak hanyut dalam kenakalan remaja,” kata Hasan. MUI Bali, sambungnya, lewat aparatnya telah melakukan pendekatan ke pihak sekolah. Tapi sejauh ini belum ada hasilnya. Hasan berjanji, akan membawa kasus ini ke tingkat pusat, yakni MUI pusat dan Menteri Pendidikan Nasional.

Pelajar Islam Indonesia (PII) Bali juga mengecam tindakan Kepala Sekolah SLTP 1 itu. “Jelas-jelas pelarangan jilbab itu melanggar HAM dan mencoreng nama baik SLTPN 1 Denpasar,” begitu katanya dalam siaran pers yang ditandatangani Ketua Umumnya, Zia Ul Haq.

Pelarangan jilbab, menurut PII, bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Yaitu Surat Edaran Dirjen Dikdasmen yang berlaku secara nasional. Surat Edaran itu berisi tentang diperbolehkannya pakaian jilbab di sekolah dan itu berlaku nasional. Dan tentu saja pelarangan itu juga bertentangan dengan UUD pasal 29 ayat 2 tentang kebebasan menjalankan ibadah.

“Pertanyaan mendasar kami, apakah otonomi pendidikan lantas mengekang warganya untuk menjalankan kemerdekaan beribadah?,” tulis PII. Tapi rupanya Ketut Killa punya intepretasi sendiri tentang otonomi pendidikan. Baginya, otonomi pendidikan, antara lain berarti sekolah berhak mengatur sendiri seragam sekolahnya, tidak mesti sama dengan sekolah-sekolah lain.

Drs Suparto, MSc, Kepala Sekolah SMU Negeri I Surabaya menilai kebijaksanaan Ketut Killa itu perlu dipertanyakan. Sebab, katanya, soal seragam sekolah itu sudah ada standar nasionalnya. Termasuk pakaian Muslim, itu sudah ada gambarnya detil,” katanya.

“Kalau sekolah menentukan seragam sesuai adat kedaerahan, nanti kan repot,” kata Suparto. Otonomi pendidikan, menurut Suparto, sebenarnya lebih mengarah kepada operasional dan teknis pelaksanaan dari suatu kebijaksanaan Pusat yang berlaku secara nasional. “Misalnya kurikulum ditetapkan dari Pusat, tapi sekolah diberi kebebasan melaksanakan sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Di kota bisa saja memberi pelajaran internet, tapi di desa itu tidak cocok,” jelas Suparto.

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Didasmen) Departemen Pendidikan, Prof DR. Indira Jati Sidi, menilai Kepala Sekolah SLTPN I Denpasar itu terlalu sempit mengartikan otonomi pendidikan. “Otonomi pendidikan itu lebih kepada pelaksanaan dan pengembangan kurikulum,” katanya ketika dicegat Suara Hidayatullah usai acara penandatanganan MoU pembangunan unit sekolah baru di Surabaya (19/2’03).

“Keyakinan beragama itu termasuk hak asasi manusia, karena sekolah harus memberi kebebasan kepada siswanya untuk beribadah,” tegasnya. Tapi ia belum hendak mengambil tindakan terhadap Kepala Sekolah SLTPN I, karena belum mendapat laporan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Kasus Unud
Nasib menyedihkan juga menimpa Anis (28) dan Sholikah (26), dua mahasiswa Fakultas Kedokteran Unud. Persoalannya sebenarnya lebih kepada Prof Dr Luh Ketut Suryani, Kepala Laboratorium Psikiatri RSU Sanglah, Denpasar. Sebab, dosen-dosen lain tidak ada yang mempersoalkan jilbab.

Suryani mengeluarkan aturan rada aneh. Setiap mahasiswa yang praktek di Lab. Psikiatri tidak boleh berpakaian yang mencerminkan simbol-simbol agama dan suku. Jilbab, di mata Suryani, dianggap salah satu simbul agama Islam. “Kami ingin membuat suasana lain. Kedokteran itu universal. Bisakah kita tidak memakai atribut lain yang menyulut perasaan tidak nyaman?” katanya kepada Suara Hidayatullah yang menemui langsung di tempat praktiknya, Jalan Gandapura 30, Kesiman, Bali.

Apalagi, katanya, dirinya kini sedang mengembangkan pengobatan dengan menggunakan pendekatan psikiatri budaya. Suryani menyebutnya dengan istilah “psychiatry preventive”. “Karena itu, para dokter dan mahasiswa praktik tidak diperkenankan menggunakan simbol-simbol keagamaan, termasuk jilbab,” tegasnya. Suryani tidak menjelaskan apa hubungan jilbab dengan kenyamanan pasien dan “psychiatry preventive”.

Setiap mahasiswa kedokteran mesti praktik di Labnya Suryani, karena termasuk mata kuliah wajib. Tidak ada pilihan lain, mahasiswi yang berjilbab harus menanggalkan pakaian penutup aurat itu. “Ya bagaimana lagi, walau rasanya ingin menangis,” ujar Anis (28). Padahal mahasiswi asal Nganjuk Jawa Timur ini sejak SMU tidak pernah melepaskan jilbab.

Rekan Anis, Sholihah (26) juga melakukan hal yang sama. Ia malah ‘kucing-kucingan’ dengan dosennya itu. Bila Suryani tidak ada, ia berjilbab. Sebaliknya, bila ada ya dicopot. Tapi akhirnya cara itu diketahui Suryani. Ia lantas memerintahkan asistennya untuk mengawasi mahasiswi berjilbab.

Peraturan aneh itu sudah diberlakukan Suryani sebelum kasus bom Bali. “Tapi sejak bom Bali efeknya pada kami semakin besar,” lanjut Sholikah. Tentu saja tindakan Suryani itu mengundang reaksi mahasiswa Muslim. Kerohanian Islam Fakultas Kedokteran Unud, misalnya, pernah mengirimkan surat protes. Anas, salah satu aktivis Kerohanian Islam, menilai pelarangan itu berlebihan, selain alasannya tidak jelas.

Namun protes itu tidak pernah digubris Suryani. Dengan agak keras, Suryani memperingatkan mahasiswa yang tidak setuju dengan keputusannya. “Silakan cari tempat lain atau jangan sekolah di Bali,” katanya pada Sahid. Cha dan Bas

Hidayatullah Edisi 11/XV 2003 - Laporan Khusus

3 komentar:

  1. sa'at ummat Islam di hina dan di lecehkan,dunia diam seribu bahasa....sa'at agama lain yang mengalami sedikit saja masalah,maka dunia heboh!!berapa banyak pura hindu didirikan di jakarta yang mana tidak ada satupun penduduk sekitar nya yang beragama hindu malah lingkungannya Muslim,? harusnya di berlakukan hal yang sama di Jakarta dan kota2 lain di Indonesia,LARANG PURA HINDU BERDIRI JIKA TIDAK TERDAPAT 40 ORANG PEMELUKNYA TINGGAL DI SEKITARNYA!!

    BalasHapus
  2. untuk kaum muslimin dan muslimat,tinggalkan universitas itu,hijrahlah ke universitas Muslim,kalian tidak akan mendapatkan apa2 disana

    BalasHapus