Akar pemikiran evolusionis muncul sezaman dengan
keyakinan dogmatis yang berusaha keras mengingkari penciptaan. Mayoritas filsuf
penganut pagan di zaman Yunani kuno mempertahankan gagasan evolusi. Jika kita
mengamati sejarah filsafat, kita akan melihat bahwa gagasan evolusi telah
menopang banyak filsafat pagan.
Akan tetapi bukan filsafat pagan kuno ini yang
telah berperan penting dalam kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan modern,
melainkan keimanan kepada Tuhan. Pada umumnya mereka yang memelopori ilmu
pengetahuan modern mempercayai keberadaan-Nya. Seraya mempelajari ilmu
pengetahuan, mereka berusaha menyingkap rahasia jagat raya yang telah diciptakan
Tuhan dan mengungkap hukum-hukum dan detail-detail dalam ciptaan-Nya. Ahli
Astronomi seperti Leonardo da Vinci, Copernicus, Keppler dan
Galileo; bapak paleontologi, Cuvier; perintis botani dan zoologi,
Linnaeus; dan Isaac Newton, yang dijuluki sebagai "ilmuwan
terbesar yang pernah ada", semua mempelajari ilmu pengetahuan dengan tidak hanya
meyakini keberadaan Tuhan, tetapi juga bahwa keseluruhan alam semesta adalah
hasil ciptaan-Nya 1 Albert Einstein, yang
dianggap sebagai orang paling jenius di zaman kita, adalah seorang ilmuwan yang
mempercayai Tuhan dan menyatakan, "Saya tidak bisa membayangkan ada ilmuwan
sejati tanpa keimanan mendalam seperti itu. Ibaratnya: ilmu pengetahuan tanpa
agama akan pincang." 2
Salah seorang pendiri fisika modern, dokter asal
Jerman, Max Planck mengatakan bahwa setiap orang, yang mempelajari ilmu
pengetahuan dengan sungguh-sungguh, akan membaca pada gerbang istana ilmu
pengetahuan sebuah kata: "Berimanlah". Keimanan adalah atribut penting
seorang ilmuwan.3
Teori evolusi merupakan buah filsafat materialistis
yang muncul bersamaan dengan kebangkitan filsafat-filsafat materialistis kuno
dan kemudian menyebar luas di abad ke-19. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
paham materialisme berusaha menjelaskan alam semata melalui faktor-faktor
materi. Karena menolak penciptaan, pandangan ini menyatakan bahwa segala
sesuatu, hidup ataupun tak hidup, muncul tidak melalui penciptaan tetapi dari
sebuah peristiwa kebetulan yang kemudian mencapai kondisi teratur. Akan tetapi,
akal manusia sedemikian terstruktur sehingga mampu memahami keberadaan sebuah
kehendak yang mengatur di mana pun ia menemukan keteraturan. Filsafat
materialistis, yang bertentangan dengan karakteristik paling mendasar akal
manusia ini, memunculkan "teori evolusi" di pertengahan abad ke-19.
Khayalan Darwin
Orang yang mengemukakan teori evolusi sebagaimana
yang dipertahankan dewasa ini, adalah seorang naturalis amatir dari Inggris,
Charles Robert Darwin.
Darwin tidak pernah mengenyam pendidikan formal di
bidang biologi. Ia hanya memiliki ketertarikan amatir pada alam dan makhluk
hidup. Minat tersebut mendorongnya bergabung secara sukarela dalam ekspedisi
pelayaran dengan sebuah kapal bernama H.M.S. Beagle, yang berangkat dari Inggris
tahun 1832 dan mengarungi berbagai belahan dunia selama lima tahun. Darwin muda
sangat takjub melihat beragam spesies makhluk hidup, terutama jenis-jenis burung
finch tertentu di kepulauan Galapagos. Ia mengira bahwa variasi pada paruh
burung-burung tersebut disebabkan oleh adaptasi mereka terhadap habitat. Dengan
pemikiran ini, ia menduga bahwa asal usul kehidupan dan spesies berdasar pada
konsep "adaptasi terhadap lingkungan". Menurut Darwin, aneka spesies makhluk
hidup tidak diciptakan secara terpisah oleh Tuhan, tetapi berasal dari nenek
mo-yang yang sama dan menjadi berbeda satu sama lain akibat kondisi
alam.
Hipotesis Darwin tidak berdasarkan penemuan atau
penelitian ilmiah apa pun; tetapi kemudian ia menjadikannya sebuah teori
monumental berkat dukungan dan dorongan para ahli biologi materialis terkenal
pada masanya. Gagasannya menyatakan bahwa individu-individu yang beradaptasi
pada habitat mereka dengan cara terbaik, akan menurunkan sifat-sifat mereka
kepada generasi berikutnya. Sifat-sifat yang menguntungkan ini lama-kelamaan
terakumulasi dan mengubah suatu individu menjadi spesies yang sama sekali
berbeda dengan nenek moyangnya. (Asal usul "sifat-sifat yang menguntungkan" ini
belum diketahui pada waktu itu.) Menurut Darwin, manusia adalah hasil paling
maju dari mekanisme ini.
Darwin menamakan proses ini "evolusi melalui
seleksi alam". Ia mengira telah menemukan "asal usul spesies": suatu spesies
berasal dari spesies lain. Ia mempublikasikan pandangannya ini dalam bukunya
yang berjudul The Origin of Species, By Means of Natural Selection pada tahun
1859.
Darwin sadar bahwa teorinya menghadapi banyak
masalah. Ia mengakui ini dalam bukunya pada bab "Difficulties of the
Theory". Kesulitan-kesulitan ini terutama pada catatan fosil dan organ-organ
rumit makhluk hidup (misalnya mata) yang tidak mungkin dijelaskan dengan konsep
kebetulan, dan naluri makhluk hidup. Darwin berharap kesulitan-kesulitan ini
akan teratasi oleh penemuan-penemuan baru; tetapi bagaimanapun ia tetap
mengajukan sejumlah penjelasan yang sangat tidak memadai untuk sebagian
kesulitan tersebut. Seorang ahli fisika Amerika, Lipson, mengomentari
"kesulitan-kesulitan" Darwin tersebut:
Ketika membaca The Origin of Species, saya mendapati bahwa Darwin sendiri tidak seyakin yang sering dikatakan orang tentangnya; bab "Difficulties of the Theory" misalnya, menunjukkan keragu-raguannya yang cukup besar. Sebagai seorang fisikawan, saya secara khusus merasa terganggu oleh komentarnya mengenai bagaimana mata terbentuk.4
Saat menyusun teorinya, Darwin terkesan oleh para
ahli biologi evolusionis sebelumnya, terutama seorang ahli biologi Perancis,
Lamarck.5 Menurut Lamarck, makhluk hidup
mewariskan ciri-ciri yang mereka dapatkan selama hidupnya dari satu generasi ke
generasi berikutnya, sehingga terjadilah evolusi. Sebagai contoh, jerapah
berevolusi dari binatang yang menyerupai antelop. Perubahan itu terjadi dengan
memanjangkan leher mereka sedikit demi sedikit dari generasi ke generasi ketika
berusaha menjangkau dahan yang lebih tinggi untuk memperoleh makanan. Darwin
menggunakan hipotesis Lamarck tentang "pewarisan sifat-sifat yang diperoleh"
sebagai faktor yang menyebabkan makhluk hidup berevolusi.
Namun Darwin dan Lamarck telah keliru, sebab pada
masa mereka, kehidupan hanya dapat dipelajari dengan teknologi yang sangat
primitif dan pada tahap yang sangat tidak memadai. Bidang-bidang ilmu
pengetahuan seperti genetika dan biokimia belum ada sekalipun hanya nama.
Karenanya, teori mereka harus bergantung sepenuhnya pada kekuatan
imajinasi.
Di saat gema buku Darwin tengah berkumandang,
seorang ahli botani Austria bernama Gregor Mendel menemukan hukum penurunan
sifat pada tahun 1865. Meskipun tidak banyak dikenal orang hingga akhir abad
ke-19, penemuan Mendel mendapat perhatian besar di awal tahun 1900-an. Inilah
awal kelahiran ilmu genetika. Beberapa waktu kemudian, struktur gen dan kromosom
ditemukan. Pada tahun 1950-an, penemuan struktur molekul DNA yang berisi
informasi genetis menghempaskan teori evolusi ke dalam krisis. Alasannya adalah
kerumitan luar biasa dari kehidupan dan ketidakabsahan mekanisme evolusi yang
diajukan Darwin.
Perkembangan ini seharusnya membuat teori Darwin
terbuang dalam keranjang sampah sejarah. Namun ini tidak terjadi, karena ada
kelompok-kelompok tertentu yang bersikeras merevisi, memperbarui dan mengangkat
kembali teori ini pada kedudukan ilmiah. Kita dapat memahami maksud upaya-upaya
tersebut hanya jika menyadari bahwa di belakang teori ini terdapat tujuan
ideologis, bukan sekadar kepentingan ilmiah.
Usaha Putus Asa Neo-Darwinisme
Teori Darwin jatuh terpuruk dalam krisis karena
hukum-hukum genetika yang ditemukan pada perempat pertama abad ke-20. Meskipun
demikian, sekelompok ilmuwan yang bertekad bulat tetap setia kepada Darwin
berusaha mencari jalan keluar. Mereka berkumpul dalam sebuah pertemuan yang
diadakan oleh Geological Society of America pada tahun 1941. Ahli genetika
seperti G. Ledyard Stebbins dan Theodosius Dobzhansky, ahli zoologi seperti
Ernst Mayr dan Julian Huxley, ahli paleontologi seperti George Gaylord Simpson
dan Glenn L. Jepsen, dan ahli genetika matematis seperti Ronald Fisher dan
Sewall Right, setelah pembicaraan panjang akhirnya menyetujui cara-cara untuk
"menambal sulam" Darwinisme.
Kader-kader ini berfokus kepada pertanyaan tentang
asal usul variasi menguntungkan yang diasumsikan menjadi penyebab makhluk
hidup berevolusi -sebuah masalah yang tidak mampu dijelaskan oleh Darwin
sendiri dan dielakkan dengan bergantung pada teori Lamarck. Gagasan mereka kali
ini adalah "mutasi acak" (random mutations). Mereka menamakan teori baru
ini "Teori Evolusi Sintetis Modern" (The Modern Synthetic Evolution
Theory), yang dirumuskan dengan menambahkan konsep mutasi pada teori seleksi
alam Darwin. Dalam waktu singkat, teori ini dikenal sebagai "neo-Darwinisme"
dan mereka yang mengemukakannya disebut "neo-Darwinis".
Beberapa dekade berikutnya menjadi era perjuangan
berat untuk membuktikan kebenaran neo-Darwinisme. Telah diketahui bahwa mutasi -
atau "kecelakaan" - yang terjadi pada gen-gen makhluk hidup selalu membahayakan.
Neo-Darwinis berupaya memberikan contoh "mutasi yang menguntungkan" dengan
melakukan ribuan eksperimen mutasi. Akan tetapi semua upaya mereka berakhir
dengan kegagalan total.
Mereka juga berupaya membuktikan bahwa makhluk
hidup pertama muncul secara kebetulan di bawah kondisi-kondisi bumi primitif,
seperti yang diasumsikan teori tersebut. Akan tetapi eksperimen-eksperimen ini
pun menemui kegagalan. Setiap eksperimen yang bertujuan membuktikan bahwa
kehidupan dapat dimunculkan secara kebetulan telah gagal. Perhitungan
probabilitas membuktikan bahwa tidak ada satu pun protein, yang merupakan
molekul penyusun kehidupan, dapat muncul secara kebetulan. Begitu pula sel, yang
menurut anggapan evolusionis muncul secara kebetulan pada kondisi bumi primitif
dan tidak terkendali, tidak dapat disintesis oleh laboratorium-laboratorium abad
ke-20 yang tercanggih sekalipun.
Teori neo-Darwinis telah ditumbangkan pula oleh
catatan fosil. Tidak pernah ditemukan di belahan dunia mana pun
"bentuk-bentuk transisi" yang diasumsikan teori neo-Darwinis sebagai bukti
evolusi bertahap pada makhluk hidup dari spesies primitif ke spesies lebih maju.
Begitu pula perbandingan anatomi menunjukkan bahwa spesies yang diduga telah
berevolusi dari spesies lain ternyata memiliki ciri-ciri anatomi yang sangat
berbeda, sehingga mereka tidak mungkin menjadi nenek moyang dan
keturunannya.
Neo-Darwinisme memang tidak pernah menjadi teori
ilmiah, tapi merupakan sebuah dogma ideologis kalau tidak bisa disebut sebagai
semacam "agama". Oleh karena itu, pendukung teori evolusi masih saja
mempertahankannya meskipun bukti-bukti berbicara lain. Tetapi ada satu hal yang
mereka sendiri tidak sependapat, yaitu model evolusi mana yang "benar" dari
sekian banyak model yang diajukan. Salah satu hal terpenting dari model-model
tersebut adalah sebuah skenario fantastis yang disebut "punctuated equilibrium".
Coba-Coba: Punctuated Equilibrium
Sebagian besar ilmuwan yang mempercayai evolusi
menerima teori neo-Darwinis bahwa evolusi terjadi secara perlahan dan bertahap.
Pada beberapa dekade terakhir ini, telah dikemukakan sebuah model lain yang
dinamakan "punctuated equilibrium". Model ini menolak gagasan Darwin tentang
evolusi yang terjadi secara kumulatif dan sedikit demi sedikit. Sebaliknya,
model ini menyatakan evolusi terjadi dalam "loncatan" besar yang
diskontinu.
Pembela fanatik pendapat ini pertama kali muncul
pada awal tahun 1970-an. Awalnya, dua orang ahli paleontologi Amerika, Niles
Eldredge dan Stephen Jay Gould, sangat sadar bahwa pernyataan
neo-Darwinis telah diruntuhkan secara absolut oleh catatan fosil. Fosil-fosil
telah membuktikan bahwa makhluk hidup tidak berasal dari evolusi bertahap,
tetapi muncul tiba-tiba dan sudah terbentuk sepenuhnya. Hingga sekarang
neo-Darwinis senantiasa berharap bahwa bentuk peralihan yang hilang suatu hari
akan ditemukan. Eldredge dan Gould menyadari bahwa harapan ini tidak berdasar,
namun di sisi lain mereka tetap tidak mampu meninggalkan dogma evolusi. Karena
itulah akhirnya mereka mengemukakan sebuah model baru yang disebut punctuated
equilibrium tadi. Inilah model yang menyatakan bahwa evolusi tidak terjadi
sebagai hasil dari variasi minor, namun dalam per-ubahan besar dan
tiba-tiba.
Model ini hanya sebuah khayalan. Sebagai contoh,
O.H. Shindewolf, seorang ahli paleontologi dari Eropa yang merintis jalan bagi
Eldredge dan Gould, menyatakan bahwa burung pertama muncul dari sebutir telur
reptil, sebagai "mutasi besar-besaran" (gross mutation), yakni akibat
"kecelakaan" besar yang terjadi pada struktur gen.6 Menurut teori tersebut, seekor binatang darat dapat menjadi paus
raksasa setelah mengalami perubahan menyeluruh secara tiba-tiba. Pernyataan yang
sama sekali bertentangan dengan hukum-hukum genetika, biofisika dan biokimia
ini, sama ilmiahnya dengan dongeng katak yang menjadi pangeran! Dalam
ketidakberdayaan karena pandangan neo-Darwinis terpuruk dalam krisis, sejumlah
ahli paleontologi pro-evolusi mempercayai teori ini, teori baru yang bahkan
lebih ganjil daripada neo-Darwinisme itu sendiri.
Satu-satunya tujuan model ini adalah memberikan
penjelasan untuk mengisi celah dalam catatan fosil yang tidak dapat dijelaskan
model neo-Darwinis. Namun, usaha menjelaskan kekosongan fosil dalam evolusi
burung dengan pernyataan bahwa "seekor burung muncul tiba-tiba dari sebutir
telur reptil" sama sekali tidak rasional. Sebagaimana diakui oleh
evolusionis sendiri, evolusi dari satu spesies ke spesies lain membutuhkan
perubahan besar informasi genetis yang menguntungkan. Akan tetapi, tidak ada
mutasi yang memperbaiki informasi genetis atau menambahkan informasi baru
padanya. Mutasi hanya merusak informasi genetis. Dengan demikian, "mutasi
besar-besaran" yang digambarkan oleh model punctuated equilibrium hanya akan
menyebabkan pengurangan atau perusakan "besar-besaran" pada informasi
genetis.
Lebih jauh lagi, model punctuated equilibrium
runtuh sejak pertama kali muncul karena ketidakmampuannya menjawab pertanyaan
tentang asal usul kehidupan; pertanyaan serupa yang menggugurkan model
neo-Darwinis sejak awal. Karena tidak satu protein pun yang muncul secara
kebetulan, perdebatan mengenai apakah organisme yang terdiri dari milyaran
protein mengalami proses evolusi secara "tiba-tiba" atau "bertahap" tidak masuk
akal.
Sebelumnya, ada baiknya meng-ingatkan pembaca bahwa
fakta yang akan kita hadapi di setiap tahap adalah bahwa skenario evolusi
merupakan sebuah dongeng belaka, kebohongan besar yang sama sekali bertentangan
dengan dunia nyata. Ini adalah sebuah skenario yang telah digunakan untuk
membohongi dunia selama 140 tahun. Berkat penemuan-penemuan ilmiah terakhir,
usaha kontinu mempertahankan teori tersebut akhirnya menjadi
mustahil.
by: Harun Yahya
| ||||||||||||||||||||||||
1. Dan Graves, Science of Faith: Forty-Eight Biographies of Historic Scientists and Their Christian Faith, Grand Rapids, MI, Kregel Resources 2. Science, Philosophy, And Religion: A Symposium, 1941, Kap.13 3. J. De Vries, Essential of Physical Science, Wm. B. Eerdmans Pub. Co., Grand Rapids, SD 1958, hlm. 15 4. H. S. Lipson, "A Physicist's View of Darwin's Theory", Evolution Trends in Plants, Bd. 2, Nr. 1, 1988, S. 6 5. Kendati Darwin menyatakan teorinya sama sekali terlepas dari teori Lamarck, ia sedikit demi sedikit mulai bersandar pada klaim Lamarck,hususnya edisi ke-6 yang merupakan edisi terakhir The Origin of Species dipenuhi contoh-contoh dari buku Lamarck "inheritance of acquired traits" (Pewarisan Sifat-Sifat yang Diperoleh). Lihat Benjamin Farrington, What Darwin Really Said, New York: Schocken Books, 1996, hlm. 64. 6. Steven M. Stanley, Macroevolution: Pattern and Process, San Francisco: W.H. Freeman and Co. 1979, hlm. 35, 159 |
Senin, 30 September 2013
Sejarah Singkat Teori Evolusi
SEBUAH HIMBAUAN KEPADA BANGSA ISRAEL
Selama situs ini dibuat, Timur Tengah sekali lagi menjadi daerah
pertentangan antara Israel dan Palestina. Tentara Israel dengan kejam mengebom
pemukiman sipil, menembaki anak-anak, dan mencoba membuat Daerah Pendudukan yang
memang telah menderita menjadi semakin tak layak didiami. Beberapa orang radikal
Palestina, di pihak lain, menyerang sasaran-sasaran sipil Israel dan memperluas
tindakan bengis dengan aksi bom bunuh mereka yang ditujukan kepada wanita-wanita
dan anak-anak yang tak berdosa.
Sebagai Muslim, hati nurani kita berkehendak agar amarah dan
kebencian di kedua pihak padam, pertumpahan darah dihentikan, dan perdamaian
tercipta di kedua negeri itu. Kita sama-sama menentang pembunuhan yang dilakukan
Israel atas orang-orang Palestina tak berdosa maupun pengeboman kaum radikal
Palestina atas orang Israel yang tak bersalah.
Dalam pandangan kita, syarat yang paling penting agar pertentangan
berkepanjangan ini berakhir dan perdamaian sejati tercipta adalah kedua pihak
menerima dan melaksanakan pemahaman yang murni dan tulus dari keyakinan
masing-masing. Pertentangan antara kedua bangsa ini cenderung seolah-olah
menjadi "perang agama" antara Yahudi dan Muslim, meskipun kenyataannya
sungguh-sungguh tidak ada alasan bagi pecahnya perang seperti itu. Baik orang
Yahudi maupun Muslimin percaya kepada Tuhan, mencintai dan menghormati
kebanyakan nabi-nabi yang sama, dan memiliki dasar-dasar akhlak yang sama.
Mereka bukanlah musuh, dan justru mereka seharusnya bahu-membahu di dunia tempat
atheisme dan kebencian terhadap agama berkembang luas.
Berdasarkan atas pandangan-pandangan mendasar ini, kami menghimbau
kepada bangsa Israel (dan semua umat Yahudi) untuk mengakui kenyataan-kenyataan
berikut ini:
1) Umat Muslimin dan Yahudi percaya pada satu Tuhan, Sang Pencipta
alam semesta dan segala makhluk di dalamnya. Kita adalah hamba-hamba Tuhan, dan
kepadanyalah kita semua akan kembali. Jadi mengapa saling membenci? Kitab-kita
suci yang kita imani berbeda kulit luarnya, namun hakikatnya adalah sama, karena
semuanya berasal dari Tuhan yang sama. Oleh karena itu, kita semua tunduk
kepadanya. Jadi mengapa kita harus saling berperang?
2) Daripada hidup bersama dengan umat Muslimin, apakah umat Yahudi
yang taat lebih menyukai hidup berdampingan dengan orang-orang atheis atau
kafir? Taurat penuh dengan perkataan-perkataan yang menggambarkan kekejaman
sadis yang ditimpakan atas umat Yahudi oleh orang-orang kafir. Pemusnahan bangsa
dan kekejaman yang sadis dilakukan kepada mereka oleh orang-orang Atheis dan
orang-orang yang tak beriman (seperti Nazi, kalangan rasis anti-Semit, atau
rezim komunis seperti Stalin di Rusia) jelas sudah untuk kita semua. Kekuatan
para Atheis dan kafir ini membenci umat Yahudi, sehingga menindas mereka, karena
mereka percaya kepada Tuhan. Tidakkah Yahudi dan Muslimin berada di pihak yang
sama dalam melawan kekuatan para atheis, komunis, atau rasis yang membenci
mereka berdua?
3) Kaum Muslimin dan Yahudi saling mencintai dan menghormati
nabi-nabi yang sama. Nabi Ibrahim (Abraham), Ishaq (Isaac), Yusuf (Joseph), Musa
(Moses), atau Daud (David), Alaihumassalam, paling tidak sama pentingnya bagi
umat Muslimin seperti halnya Yahudi. Tanah tempat tokoh-tokoh suci ini tinggal
dan mengabdi kepada Tuhan paling tidak sama sucinya bagi Muslimi maupun Yahudi.
Jadi mengapa membiarkan tanah ini dibasahi darah dan air mata?
4) Nilai-nilai dasar Yahudi juga dianggap sakral oleh kami,
Muslimin. Kata "Israel" adalah nama Nabi Ya'qub (Jacob) AS, yang dipuji dalam
Al-Qur'an dan dikenang dengan penuh penghormatan oleh umat Muslimin. Bintang
Daud (Star of David), sebuah lambang yang dihubungkan dengan Raja Daud juga
menjadi lambang suci bagi kami. Menurut Al-Qur'an 22:40., umat Muslimin harus
melindungi sinagog-sinagog karena semuanya adalah tempat beribadah. Jadi mengapa
penganut kedua agama ini tidak hidup bersama dalam kedamaian?
Yahudi dan Muslim mempercayai Tuhan yang sama. Tentara Israel yang benar-benar beriman tidak boleh lupa bahwa Tuhan melarang membunuh orang-orang tak bersalah dan menggunakan kekerasan dan kekejaman, dan telah memerintah kita untuk tenggang rasa, saling memahami, dan damai. |
Palestina adalah rumah bagi banyak tempat-tempat suci Yahudi, Kristen, dan Islam. Semua orang beriman sejati harus melihat cinta, kasih sayang, dan perdamaian menggantikan darah, air mata, dan permusuhan di daerah ini. |
5) Taurat memeritahkan umat Yahudi untuk membangun perdamaian dan
keamanan, bukan merebut tanah orang lain dan menumpahkan darah. Kaum Israel
digambarkan sebagai "cahaya bagi bangsa-bangsa" di dalam Taurat. Seperti
dinyatakan oleh "Para Rabbi untuk Hak Azazi Manusia":
Kita diajarkan: Semata-mata
keadilan, keadilan'' (Ulangan 16:20). Mengapa kata keadilan disebut dua kali?
Karena menurut kebiasaan kita, kita harus mencapai sebuah keadilan dengan arti
makna yang adil. Dalam mempertahankan diri kita, kita harus selalu berpegang
kepada visi para nabi tentang kesusilaan dan kemanusiaan. Selamatnya umat Yahudi
tidak hanya akan ditentukan oleh kebijaksanaan jasmaniahnya saja, melainkan juga
oleh keikhlasan akhlaknya.1
Jika bangsa Israel terus memperlakukan orang Palestina seperti yang
mereka lakukan sekarang, mereka mungkin tidak akan mampu mempertanggung jawabkan
hal itu kepada Tuhan. Demikian pula, orang-orang Palestina yang membunuh
orang-orang Israel yang tak berdosa mungkin juga tidak akan mampu
mempertanggungjawabkan pembunuhan itu. Bukankah merupakan sebuah kewajiban di
mata Tuhan untuk mengakhiri sebuah peperangan, yang membawa kedua belah pihak ke
dalam penindasan yang tak berujung?
Kami mengajak semua umat Yahudi untuk merenungkan
kenyataan-kenyataan ini. Allah memerintahkan kami orang-orang Muslim untuk
mengajak orang Yahudi dan Nasrani menuju "rumusan bersama":
Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa
tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka,
"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."
(Qu'ran, 3:64)
Inilah himbauan kami kepada orang Yahudi, salah satu Ahli Kitab:
Sebagai orang yang percaya kepada Tuhan dan menghormati perintah-perintah-Nya,
mari kita bergandengan bersama dalam satu rumusan bersama "keimanan." Mari kita
cintai Allah, Tuhan dan Pencipta kita semua. Mari kita tunduk kepada
perintah-perintah-Nya. Mari kita beribadah kepada Allah untuk memimpin kita
seterusnya di atas jalan kebenaran. Mari kita ciptakan cinta, belas kasih, dan
perdamaian kepada satu sama lain dan kepada dunia, bukan permusuhan, pertumpahan
darah, dan kekejaman.
Di sinilah pemecahan bagi tragedi bangsa Palestina dan pertikaian
lain di dunia terletak. Kematian dan penderitaan begitu banyak orang-orang tak
berdosa mengingatkan kita setiap hari akan betapa pentingnya tugas ini.
Muslim Palestina, orang Yahudi, dan Kristen yang tulus, semuanya menginginkan perdamaian dan keamanan untuk menggantikan pertikaian yang kelihatannya tak berujung ini. Semuanya berdoa bersama untuk ini. |
Bagaimana Persoalan Palestina Dapat Dipecahkan?
Yerusalem, sebuah tempat yang suci bagi ketiga agama wahyu, seharusnya menjadi sebuah kota tempat manusia bisa beribadah bersama dalam damai. |
Dengan menggunakan dasar-dasar toleransi dan kerendahan hati yang
disebutkan di atas, pertikaian bangsa Israel-Palestina, yang telah menyebabkan
begitu banyak pertumpahan darah selama 50 tahun terakhir ini, dapat dipecahkan.
Dalam pandangan kita, dibangunnya perdamaian tergantung pada dua syarat:
1) Israel harus segera menarik diri dari semua daerah yang
didudukinya selama perang 1967 dan mengakhiri pendudukan yang terjadi karenanya.
Ini adalah kewajiban menurut hukum internasional, berbagai resolusi Dewan
Keamanan PBB, dan keadilan itu sendiri belaka. Semua pendudukan di Tepi Barat
dan Jalur Gaza harus diakui sebagai hak milik yang berdiri sendiri dari Negara
Palestina.
2) Yerusalem Timur, daerah tempat ibadah penting yang dimiliki tiga
agama samawi, harus dikelola oleh pemerintah Palestina. Akan tetapi, daerah ini
harus mempunyai kedudukan khusus dan dijadikan sebuah kota perdamaian yang dapat
dikunjungi semua umat Yahudi, Nasrani, dan Muslimin dengan aman, dalam
perdamaian dan kesejahteraan, di mana mereka dapat beribadah dengan aman.
Jika semua syarat ini terpenuhi, baik bangsa Israel maupun
Palestina akan mengakui hak satu sama lain untuk hidup, berbagi tanah Palestina,
dan memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang masih dipertentangkan tentang
kedudukan Yerusalem dengan cara yang memuaskan pihak-pihak terkait dari ketiga
agama.
Pada halaman-halaman berikutnya dari buku ini, kita akan membahas
dan menelaah sejarah persoalan Palestina berdasarkan pandangan yang kita
kemukakan di atas. Harapan kita adalah bahwa permusuhan yang berkelanjutan
selama 50 tahun terakhir ini serta prasangka, dan pembunuhan, pembantaian yang
mengikutinya akan berakhir; bahwa orang-orang Palestina bisa mendapatkan sebuah
tanah air yang memberi mereka kedamaian, keamanan, dan kesejahteraan yang pantas
mereka dapatkan; dan bahwa bangsa Israel akan menghapuskan kebijakan penyerangan
dan pendudukan, yang menzalimi rakyatnya sendiri maupun rakyat Palestina,
sehingga mereka mampu hidup dengan damai bersama tetangganya dengan batas hukum
sebelum 1967.
1-Rabbis for Human Rights www.rhr.israel.net/statement.shtml
by: Harun Yahya
Sejarah Sembilan Wali / Walisongo
Islam Masuk ke Nusantara Saat Rasulullah SAW Masih Hidup
Islam masuk ke Nusantara dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14
Masehi. Teori masuknya Islam ke Nusantara dari Gujarat ini disebut juga sebagai
Teori Gujarat. Demikian menurut buku-buku sejarah yang sampai sekarang masih
menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga
lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi. Namun, tahukah Anda bahwa Teori Gujarat ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam? Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dengan sangat giat, mengaku sebagai seorang Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya. Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu. Mengutip buku Gerilya Salib di Serambi Makkah (Rizki Ridyasmara, Pustaka Alkautsar, 2006) yang banyak memaparkan bukti-bukti sejarah soal masuknya Islam di Nusantara, Peter Bellwood, Reader in Archaeology di Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini. Dalam catatan kakinya Bellwood menulis, “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM, para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina. Masih menurutnya, perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya. Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan tertulisnya. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan huruf Jawi kuno berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara 0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya. Tarumanegara di Jawa Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya. |
Temuan G. R Tibbets Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G. R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi, ” tulis Tibbets. Jadi peta perdagangan saat itu terutama di selatan adalah Arab-Nusantara-China. Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Di perkampungan-perkampungan ini, orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid). Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika. |
Pembalseman Firaun Ramses II Pakai Kapur Barus Dari
Nusantara Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah Aceh. Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5. 000 tahun sebelum Masehi! Berdasakan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi, Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi. Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu. Sebuah Tim Arkeolog yang berasal dari Ecole Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus, telah menemukan bahwa pada sekitar abad 9-12 Masehi, Barus telah menjadi sebuah perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India, China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu, dan sebagainya. Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas tinggi yang usianya sudah ratusan tahun dan ini menandakan dahulu kala kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. Di Barus dan sekitarnya, banyak pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh, dan sebagainya hidup dengan berkecukupan. Mereka memiliki kedudukan baik dan pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan Budha Sriwijaya). Bahkan kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah bandar. Mereka banyak yang bersahabat, juga berkeluarga dengan raja, adipati, atau pembesar-pembesar Sriwijaya lainnya. Mereka sering pula menjadi penasehat raja, adipati, atau penguasa setempat. Makin lama makin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam. Bahkan ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk Islam. Tentunya dengan jalan damai (Rz/eramuslim) |
Sejarahwan T. W. Arnold dalam karyanya
“The Preaching of Islam” (1968) juga menguatkan temuan bahwa agama Islam
telah dibawa oleh mubaligh-mubaligh Islam asal jazirah Arab ke Nusantara sejak
awal abad ke-7 M. Setelah abad ke-7 M, Islam mulai berkembang di kawasan ini, misal, menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (F. Hirth dan W. W. Rockhill (terj), Chau Ju Kua, His Work On Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St.Petersburg: Paragon Book, 1966, hal. 159). Bukti lainnya, di daerah Leran, Gresik, Jawa Timur, sebuah batu nisan kepunyaan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun bertanggal tahun 1082 telah ditemukan. Penemuan ini membuktikan bahwa Islam telah merambah Jawa Timur di abad ke-11 M (S. Q. Fatini, Islam Comes to Malaysia, Singapura: M. S. R.I., 1963, hal. 39). Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat dipaparkan sebagai berikut: Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diam—periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab. Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (Barus). Jadi hanya 9 tahun sejak Rasulullah SAW memproklamirkan dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah perkampungan Islam. Selaras dengan zamannya, saat itu umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, karena mushaf Al-Qur’an baru selesai dibukukan pada zaman Khalif Utsman bin Affan pada tahun 30 H atau 651 M. Naskah Qur’an pertama kali hanya dibuat tujuh buah yang kemudian oleh Khalif Utsman dikirim ke pusat-pusat kekuasaan kaum Muslimin yang dipandang penting yakni (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kuffah, dan (7) yang terakhir dipegang sendiri oleh Khalif Utsman. Naskah Qur’an yang tujuh itu dibubuhi cap kekhalifahan dan menjadi dasar bagi semua pihak yang berkeinginan menulis ulang. Naskah-naskah tua dari zaman Khalifah Utsman bin Affan itu masih bisa dijumpai dan tersimpan pada berbagai museum dunia. Sebuah di antaranya tersimpan pada Museum di Tashkent, Asia Tengah. Mengingat bekas-bekas darah pada lembaran-lembaran naskah tua itu maka pihak-pihak kepurbakalaan memastikan bahwa naskah Qur’an itu merupakan al-Mushaf yang tengah dibaca Khalif Utsman sewaktu mendadak kaum perusuh di Ibukota menyerbu gedung kediamannya dan membunuh sang Khalifah. Perjanjian Versailes (Versailes Treaty), yaitu perjanjian damai yang diikat pihak Sekutu dengan Jerman pada akhir Perang Dunia I, di dalam pasal 246 mencantumkan sebuah ketentuan mengenai naskah tua peninggalan Khalifah Ustman bin Affan itu yang berbunyi: (246) Di dalam tempo enam bulan sesudah Perjanjian sekarang ini memperoleh kekuatannya, pihak Jerman menyerahkan kepada Yang Mulia Raja Hejaz naskah asli Al-Qur’an dari masa Khalif Utsman, yang diangkut dari Madinah oleh pembesar-pembesar Turki, dan menurut keterangan, telah dihadiahkan kepada bekas Kaisar William II (Joesoef Sou’yb, Sejarah Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hal. 390-391). Sebab itu, cara berdoa dan beribadah lainnya pada saat itu diyakini berdasarkan ingatan para pedagang Arab Islam yang juga termasuk para al-Huffadz atau penghapal al-Qur’an. Menengok catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, kerajaan Budha Sriwijaya tengah berkuasa atas Sumatera. Untuk bisa mendirikan sebuah perkampungan yang berbeda dari agama resmi kerajaan—perkampungan Arab Islam—tentu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum diizinkan penguasa atau raja. Harus bersosialisasi dengan baik dulu kepada penguasa, hingga akrab dan dipercaya oleh kalangan kerajaan maupun rakyat sekitar, menambah populasi Muslim di wilayah yang sama yang berarti para pedagang Arab ini melakukan pembauran dengan jalan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan memiliki anak, setelah semua syarat itu terpenuhi baru mereka—para pedagang Arab Islam ini—bisa mendirikan sebuah kampung di mana nilai-nilai Islam bisa hidup di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya. Perjalanan dari Sumatera sampai ke Makkah pada abad itu, dengan mempergunakan kapal laut dan transit dulu di Tanjung Comorin, India, konon memakan waktu dua setengah sampai hampir tiga tahun. Jika tahun 625 dikurangi 2, 5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 Masehi lebih enam bulan. Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam seperti yang telah disinggung di atas, setidaknya memerlukan waktu selama 5 hingga 10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah orang-orang Arab Islam generasi pertama para shahabat Rasulullah, segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib r. A.. Kenyataan inilah yang membuat sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Suryanegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang berasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga. “Sebab itu, ketika Muhammad diangkat menjadi Rasul dan mendakwahkan Islam, maka para pedagang di Nusantara sudah mengenal beliau dengan baik dan dengan cepat dan tangan terbuka menerima dakwah beliau itu,” ujar Mansyur yakin. Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shih, sedang Amirul Mukminin disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’, utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 Masehi atau 31 Hijriah dan menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan telah tiga kali berganti kepemimpinan. Dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). Hanya berselang duapuluh tahun setelah Rasulullah SAW wafat (632 M). Catatan-catatan kuno itu juga memaparkan bahwa para peziarah Budha dari Cina sering menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 Masehi untuk mengunjungi India dengan singgah di Malaka yang menjadi wilayah kerajaan Budha Sriwijaya. |
Gujarat Sekadar Tempat Singgah Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dikenal sebagai Teori Makkah. Jadi Islam di Nusantara ini sebenarnya bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) atau yang dikenal sebagai Teori Gujarat yang berasal dari Snouck Hurgronje, karena para pedagang yang datang dari India, mereka ini sebenarnya berasal dari Jazirah Arab, lalu dalam perjalanan melayari lautan menuju Sumatera (Kutaraja atau Banda Aceh sekarang ini) mereka singgah dulu di India yang daratannya merupakan sebuah tanjung besar (Tanjung Comorin) yang menjorok ke tengah Samudera Hindia dan nyaris tepat berada di tengah antara Jazirah Arab dengan Sumatera. Bukalah atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab menjadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera maupun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa. Disebabkan letaknya yang sangat strategis, selain Barus, Banda Aceh ini telah dikenal sejak zaman dahulu. Rute pelayaran perniagaan dari Makkah dan India menuju Malaka, pertama-tama diyakini bersinggungan dahulu dengan Banda Aceh, baru menyusuri pesisir barat Sumatera menuju Barus. Dengan demikian, bukan hal yang aneh jika Banda Aceh inilah yang pertama kali disinari cahaya Islam yang dibawa oleh para pedagang Arab. Sebab itu, Banda Aceh sampai sekarang dikenal dengan sebutan Serambi Makkah.(Rz, Tamat/eramuslim) |
Langganan:
Postingan (Atom)